Dalam artikel ini, Penulis berupaya untuk mendudukkan permasalahan dan mengkaji polemik terkait kesiapan Indonesia dalam menerapkan kebijakan "New Normal". Sehingga bukan meletakkan permasalahan terkait kesetujuan maupun ketidaksetujuan, namun meletakkan permasalahan pada aspek apa saja yang menjadi kekurangan dalam penerapan kebijakan dengan mengkaji dari aspek pro pelaksanaan New Normal dan kontra pelaksanaan New Normal sehingga nantinya didapatkan solusi terbaik.
Sebelum membahas terlalu jauh terkait New Normal ini, perlu kita ketahui, bahwa ketika kita tidak setuju dengan adanya New Normal, maka persoalannya adalah skenario mana yang kita inginkan untuk menanggapi virus Covid-19 ini. Ketika kita tidak setuju dengan New Normal, maka bukan kemudian kita tidak setuju dengan PSBB, karena ketika kita tidak setuju dengan New Normal, maka secara tidak langsung, mau tidak mau, kita setuju dengan kebijakan yang lama, yakni PSBB. Logikanya, dari kedua kebijakan ini, sama-sama tidak memiliki jaminan kebijakan mana yang akan efektif untuk diberlakukan.
Berangkat dari pemikiran sebelumnya, maka tidak seharusnya kita hanya menyatakan ketidaksetujuan kita terhadap keputusan dalam penerapan kebijakan New Normal. Namun sejauh mana solusi terbarukan untuk bisa memberikan saran progresif dalam penerapan kebijakan pemerintah, baik itu dari New Normal, PSBB, atau kebijakan lainnya untuk menanggapi situasi Covid-19 ini. Karena logikanya, kebijakan ini pun sebenarnya bukanlah kebijakan dengan dasar filosofis yang salah, mengingat tujuan dari penerapan kebijakan baik New Normal maupun PSBB adalah sebagai langkah responsif dalam menanggulangi virus Covid-19.Â
Sehingga, persoalan yang dibahas disini adalah implementasi dari kebijakannnya, bukan dasar filosofisnya. Hal ini mengingat bahwa tidaklah dimungkinkan suatu kebijakan diciptakan untuk suatu keburukan. Oleh karena itu, yang akan dibahas nantinya adalah implementasinya dan output dari kebijakannya baik dari segi internal maupun dari segi eksternalnya.
Perlu untuk Penulis mempertegas kembali bahwa artikel ini akan diuraikan dan ditinjau dari dua persfektif yakni pro pelaksanaan New Normal dan kontra pelaksanaan New Normal. Namun untuk mencari solusi terbaik maka Penulis berupaya untuk mendudukan permasalahan dari persfektif kontra pelaksanaan New Normal terlebih dahulu, agar kita bisa mengetahui apa saja yang menjadi kekurangan atau aspek apa saja yang membuat Indonesia belum siap menjalankan New Normal, kemudian dilanjutkan dengan solusi atau gagasan yang dikaji dari persfektif pro pelaksanaan New Normal untuk mengulas terkait polemik yang dibahas pada bagian permasalahan sehingga didapatkan jawaban mengapa New Normal harus tetap dijalankan.
Beberapa permasalahan yang ada terkait kesiapan Indonesia dalam penerapan New Normal ini setidaknya dapat ditinjau dari dua segi, yakni tinjauan dari segi regulasi dan tinjauan dari Indikator yang ditetapkan oleh WHO.
Tinjauan dari Segi Regulasi
Masih sangat jelas kita ketahui baru-baru ini dalam segi implementasi dan output dari kebijakan, bahwa pemerintah telah menerapkan regulasi terkait adanya New Normal, namun perlu lagi untuk kita kaji bahwa persoalan New Normal ini adalah persoalan yang meliputi semua aspek, baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Artinya, secara eksplisit pun sudah seharusnya secara alamiah, regulasi yang dikeluarkan harus mengatur tentang semua bidang.Â
Hangat di telinga kita, implementasi New Normal diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI tersebut dapat kita lihat misalnya mulai dari BAB II yakni terkaitpencegahan dan pengendalian Covid-19 di lingkungan kerja perkantoran dan industri, kemudian BAB III yang mengatur terkait koordinasi antara tempat kerja dengan pemerintah daerah  dalam penanganan Covid-19.
Namun, jika kita melihat peraturan terkait PSBB yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan PMK No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan COVID-19, yang secara eksplisit mengatur untuk semua aspek kegiatan masyarakat.Â
Logika sederhananya, aturan dan panduan terkait PSBB sudah diatur secara jelas bagaimana standardisasinya. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) PP No. 21/2020 dan juga Pasal 13 ayat (1) PMK No. 9/2020 yang mengatur tidak hanya terbatas pada tempat kerja, namun juga berkaitan dengan tempat sekolah, tempat keagamaan, kegiatan sosial budaya, pembatasan dalam hal moda transportasiserta tempat-tempat lainnya yang berpotensi dikunjungi oleh orang banyak.
Namun fakta yang kemudian menarik untuk diperhatikan adalah ketika penerapan PSBB (PMK No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19) bahwa justru masih terdapat adanya penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh yang terjadi di Jawa Timur sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat bahwa tingkat kepatuhan masyarakat yang masih rendah (Jakarta, Minggu, 03/05/2020). Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya sebuah pabrik di Jawa Timur yang masih beroperasi saat PSBB sudah berjalan, dimana dua pekerja di pabrik tersebut kemudian menjadi pasien dalam pengawasan (PDP) hingga menimbulkan titik penyebaran baru. Sejumlah karyawan perusahaan tersebut kemudian dinyatakan positif Covid-19 dan pabrik tersebut ditutup beberapa hari setelah dua karyawannya yang positif Covid-19 tersebut meninggal dunia.
Maka dalam hal ini, bukan tidak mungkin kemudian, bahwa masyarakat akan lebih condong dan semakin acuh terhadap kesehatan ketika tidak ada payung hukum yang mengawasinya dan aturan yang konkret sebagai panduan dari New Normal itu sendiri dikarenakan belum ada panduan yang jelas terkait penerapan New Normal. Sehingga nantinya, tidak dapat kita pungkiri bahwa pelaksanaan New Normal ini justru akan berlandaskan pada kondisi daerah dan bukan pada standardisasi kesehatan.Â
Kemudian yang juga perlu kita ketahui adalah persoalan standar kesehatan harusnya diterapkan secara objektif, bukan subjektif setiap daerah. Artinya adalah terkait pedoman pelaksanaan New Normal, baik itu mulai dari tata cara pelaksanaan atau standar pelaksanaannya harus berlaku secara nasional. Selanjutnya adalah adanya regulasi yang konkret serta panduan yang jelas yang disesuaikan oleh Kemenkes RI.
Seperti yang diungkapkan oleh Roscoe Pound bahwa hukum pada dasarnya adalah sebagai alat kontrol bagi masyarakat. Lebih lanjut, hukum sebagai alat control social ini berperan dalam setiap lapisan realitas sosial. Emile Durkheim mengungkapkan bahwa salah satu lapisan dari suatu realitas sosial ini adalah lapisan institusi dan kebiasaan kolektif, bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat suatu kebiasaan yang terbentuk yang kemudian membawa pada pola pikir masyarakat akan suatu hal.Â
Kaitannya adalah bahwa transisi kebijakan yang satu ke kebijakan yang lain, yakni dari PSBB kemudian mengarah kepada New Normal, dimana saat ada regulasi masih terdapat masyarakat yang acuh akan kesehatan dan himbauan dari pemerintah, bagaimana mungkin New Normal kemudian akan diterapkan tanpa adanya instrumen hukum atau pedoman yang dapat dijadikan sebagai alat kontrol masyarakat. Sehingga pola pikir masyarakat inilah yang nantinya dikhawatirkan akan semakin membawa masyarakat kepada sikap acuh dan tidak peduli terhadap kondisi saat ini.
Mengingat kasus positif corona di Indonesia hari ini yang terus mengalami peningkatan, sebagaimana data yang di proleh per 27 Juni 2020 kasus positif covid-19 mengalami peningkatan sejumlah 1.385 kasus, sehingga total positif covid-19 di Indonesia berjumlah 52.812 kasus. Dengan melihat angka positif Corona hari ini yang terus meningkat, terlebih ketika New Normal mulai diberlakukan, tanpa adanya regulasi yang mengatur secara konkret dan jelas baik itu dari segi pelaksanaannya maupun terkait sanksi di dalamnya, hal ini justru dikhwatirkan bukan menekan peningkatan kasus Corona di Indonesia, namun membuat masalah justru semakin mengantri dan malah keluar dari dasar filsofis mengapa kebijakan ini ingin diterapkan. Â
Berangkat dari objektivitas kesehatan yang diharuskan dalam penerapan new normal untuk menerapkan standar yang sama di semua daerah. Maka kebijakan ini perlu dikaji kembali terkait bagaimana urgensi dari regulasi itu sendiri sebagai bentuk objekivitas standar kesehatan dalam penerapan New Normal. Jika memang pelaksanaan New Normal ini akan dikembalikan kepada kondisi daerah masing-masing, maka sama halnya dengan PSBB. Ketika PSBB pun juga diserahkan kepada daerah masing-masing, namun bukan tidak mungkin kemudian cara penerapannya juga diserahkan kepada daerah masing-masing itu juga, dalam artian implementasi pelaksanaan PSBB sudah terdapat panduan jelasnya dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020, sehingga artinya, ketika pelaksanaannya tidak diterapkan dalam waktu serentak, namun cara pelaksanaannya haruslah sama.Â
Hal ini mengingat bahwa New Normal sendiri berkaitan dengan kesehatan, artinya dalam hal keterlibatan penerapannya juga harus benar-benar dari orang yang ahli dalam kesehatan dan objektif dalam menerapkan standar kesehatan, tidak bisa kemudian cara pelaksanannya hanya bergantung kepada kepala daerah itu sendiri.
Padahal jika dilakukan perbandingan, sudah jelas diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PP No. 21 Tahun 2020 terkait PSBB untuk mengajukan daerahnya kepada Kemenkes RI dan secara eksplisit pula panduan pelaksanaan PSBB sudah diatur dalam regulasi yang jelas yang meliputi semua aspek. Berbeda kemudian dengan pelaksaan New Normal, dimana pelaksaan dan eksekusinya pun belum diberikan standar yang jelas yang seharusnya tidak hanya perekonomian saja yang diatur dalam regulasi New Normal seperti dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 yang hanya mengatur tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri. Karena jika pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan, maka harusnya regulasinya diterapkan dengan sangat komprehensif yang tidak hanya meliputi bidang perekonomian namun juga bidang sosial lainnya.Â
Artinya adalah, tanpa adanya regulasi berkaitan dengan indikator atau persyaratan sebuah kebijakan itu diterapkan, maka jangan sampai setiap daerah berlomba-lomba untuk menerapkan new normal tanpa adanya keterlibatan orang-orang yang memang ahli di bidangnya yakni di bidang kesehatan hanya karena tidak ada regulasi yang mengaturnya.
Dalam pembuatan suatu kebijakan sebagaimana yang diungkapkan oleh William Dunn, tidak lepas dari yang namanya sebuah tahapan, salah satu tahapan ini adalah formulasi kebijakan. Dalam tahapan ini, masalah yang masuk dalam agenda kebijakan, dibahas oleh pembuat kebijakan dengan melibatkan pihak-pihak atau ahli-ahli di dalamnya untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.Â
Maka dalam perumusannya, kebijakan tersebut harus dikaji secara matang dengan mempertimbangkan berbagai aspek di dalamnya, termasuk bagaimana kebutuhan dan situasi dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga, kebijakan yang diambil pun tidak cenderung tergesa-gesa. Oleh karena itu suatu kebijakan akan dapat dikatakan ideal apabila kebijakan tersebut telah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat itu sendiri, apakah aksesibilitas masyarakat terhadap kesehatan sudah terpenuhi atau tidak dan apakah laju penyebaran covid-19 sudah dapat dikendalikan atau tidak.
Adapun apabila suatu aturan telah dibuat, sebagaimana pendapat dari Hans Kelsen, sesuai dengan teori legitimasi aturan hukum, maka suatu kaidah hukum salah satunya harus memiliki keberlakuan sosial dan faktual, artinya dalam kenyataannya aturan tersebut diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan kondisi dari masyarakat itu sendiri. Maka, untuk dapat menerapkan suatu kebijakan New Normal haruslah ada suatu aturan yang berkaitan dengan indikator atau syarat yang telah ditetapkan, yang nantinya bisa menjadi patokan setiap daerah untuk menerapkan New Normal, sehingga setiap daerah tidak asal dalam mengambil sebuah kebijakan.
Selain itu, tidak adanya regulasi ini akan menyebabkan potensi penularan semakin meningkat, hal ini disebabkan karena tingkat kepatuhan masyarakat untuk menjaga kesehatan masih rendah. Kekhawatiran selanjutnya adalah resiko yang akan terjadi jika masyarakat semakin dibebaskan karena tidak adanya regulasi adalah akan terbentuk stigma "salah kaprah" dan makin acuh terhadap kesehatan apalagi jika dibandingkan dengan realitas yang sudah jelas dengan adanya PSBB pun masyarakat masih ada potensi melanggar, terlebih jika diterapkan new normal yang belum terdapat regulasi.
Kemudian jika kita berbicara tentang interaksi kegiatan masyarakat di ruang publik yang erat kaitannya dengan perilaku setiap orang, tingkat kepatuhan seseorang, maka aspek lingkungan sangat mempengaruhi pola perilaku masyarakat. Apakah perilakunya sesuai atau menjadi perilaku yang menyimpang. Karena lingkungan menjadi salah satu faktor pembentuk kepribadian baik fisik maupun perilaku.Â
Di sinilah menjadi urgensi jika dihubungkan dengan aspek kajian kriminologi. Merujuk pada teori Travis Hirsci yaitu teori kontrol sosial yang melibatkan kepatuhan masyarakat, karena efektivitas tingkat kepatuhan. Artinya, kedisiplinan perilaku tersebut juga sangat dipengaruhi dari aspek lingkungan dimulai dari aspek lingkungan terkecil dalam keluarga seterusnya secara berjenjang sampai pemerintahan daerah dan sikap pemerintahan tingkat nasional.Â
Jika tidak ada kepatuhan dan kedisiplinan maka yang cenderung terjadi adalah adanya sikap pembiaran yang nantinya justru akan sulit bagi pemerintah dalam menerapkan konsep New Normal. Hal ini malah akan menjadi hambatan, terkhusus petugas keamanan di lapangan bila masyarakat belum siap atau tidak mau menerapkan perilaku baru ini. Justru yang ada adalah akan lebih mudah terjadinya potensi benturan antara petugas dengan masyarakat dan menjadikan efektivitas tujuan New Normal tidak tercapai.
Karenanya diharapkan melalui tokoh masyarakat, dan tokoh agama, para ilmuwan dan seluruh pemangku kepentingan, termasuk kepala keluarga untuk terus mengimbau atau mendorong bagi setiap warganya atau anggota keluarganya membangun kesadaran tanggung jawab bersama agar setiap individu berpartisipasi dan beradaptasi serta menerapkan konsep New Normal.Â
Disinilah fase pengujian akan tingkat kepatuhan perilaku dan kepatuhan budaya hukum, sekaligus sebagai bagian tentang cara dan upaya mempercepat menyelesaikan pandemi COVID-19. Oleh karenanya perlu komitmen dan kerjasama yang baik dari setiap orang guna keberhasilan era New Normal sekaligus mengantisipasi dampak gejala sosial lain dan reaksi sosial lain di masa yang akan datang jika situasi New Normal ini tidak segera diterapkan.
Pemerintah memiliki tugas utama yakni memastikan bagaimana detail konsep New Normal ini dapat dioperasionalkan dengan baik. Maka pemerintah harus melakukan upaya yang sistematis, terukur, terarah, terkoordinasikannya kebijakan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang saling klik, dan mesti konsisten dalam melakukan pengawasan publik secara terbuka dan penerapan penegakan hukum.Â
Hal lain yang penting, termasuk di dalamnya yakni memperbesar kapasitas sektor kesehatan untuk mengantisipasi lonjakan penderita COVID-19 serta penguatan jaminan sosial yang tepat sasaran dan prioritas. Penulis menyelipkan pesan pada penutup catatan ini, "Bila tidak bisa membangun Jangan merusak, Bila tak bisa membantu setidaknya jangan mengganggu".
Kemudian jika kita berkaca dari perbandingan negara-negara luar seperti Singapura, German dan beberapa negara lainnya yang mulai menerapkan kebijakan New Normal, bahwa salah satu indikator yang sangat di perhatikan adalah berkaitan dengan laju peningkatan kasus positif corona yang sudah bisa dikendalikan. Kebijakan yang diterapkan yakni dimulai dari pelonggaran lockdown sampai dengan kebijakan New Normal, negara-negara tersebut memastikan bahwa angka kasus positif per harinya berada dalam kisaran belasan kasus, sementara Indonesia hari ini dengan kasus per hari bahkan mencapai angka diatas 500 kasus.
Urgensi dari penerapan New Normal ini pada dasarnya adalah ketika kasus corona sudah bisa dikendalikan dan kasusnya positif yang sudah mulai menurun, namun yang terjadi saat ini justru dengan jumlah kasus yang terus meningkat, urgensi kebijakan tersebut seolah bergeser orientasinya hanya pada ekonomi semata, padahal jika kasus positif corona semakin meningkat, maka ekonomi Indonesia juga akan semakin parah.
Seperti yang diungkapkan oleh Nila F. Moeloek mantan Menteri Kesehatan yang menyatakan bahwa "Tanpa kesehatan kita tidak akan mungkin menjadi negara yang kuat. Dengan kesehatan yang baik kita bisa membina dengan pendidikan. Dari pendidikan itulah yang melahirkan bangsa yang cerdas dengan begitu kita akan mendapatkan ekonomi yang baik dan bisa berinovasi. Pada akhirnya kita bisa sejahtera serta menjadi negara yang baik dan kuat menghadapi tantangan di luar". Â
Oleh karena itu, seharusnya yang menjadi prioritas utama pemerintah adalah bagaimana pemerintah memastikan terkendalinya laju penyebaran covid-19 dan memastikan kesehatan masyarakat terlebih dahulu, dan ketika hal tersebut bisa di capai maka aspek lain seperti halnya ekonomi juga akan bisa dicapai.
Tinjauan Terkait Indikator yang Ditetapkan oleh WHO dan Kondisi di Indonesia
Adapun syarat dari New Normal sendiri menurut WHO adalah Pemerintah bisa membuktikan bahwa transmisi virus corona sudah dikendalikan, rumah sakit atau sistem kesehatan tersedia untuk mengidentifikasi, menguji, mengisolasi, melacak kontak, dan mengkarantina pasien COVID-19, Risiko penularan wabah sudah terkendali terutama di tempat dengan kerentanan tinggi, langkah pencegahan di lingkungan kerja, seperti menjaga jarak, cuci tangan dan etika saat batuk, mencegah kasus impor virus corona dan meratanya pengimbauan masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat dalam transisi the new normal.Â
Namun pertanyannya, sudah sejauh mana syarat tersebut dipenuhi?
Berdasarkan studi Center for Infectious Disease Research and Policy (CIDRAP) University of Minnesota  yang berjudul The Future of the Covid-19 Pandemic, wabah Covid-19 masih memerlukan waktu yang lama untuk ditangani dan bahkan belum ada tanda Covid-19 akan sepenuhnya lenyap. Studi itu menyebutkan diperlukan waktu 18 hingga 24 bulan untuk tetap siaga menyiapkan langkah-langkah mitigasi darurat karena dalam rentang waktu tersebut masih ada kemungkinan merebaknya Covid-19. Sedang, kesiapan tenaga kesehatan untuk menghadapi New Normal ini masih belum memadai.
Dinyatakan dalam UU No. 6 Tahun 2018 Fasilitas dan Perbekalan Kekarantinaan Kesehatan Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain berfungsi dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan juga sebagai sarana pendidikan dan pelatihan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kekarantinaan Kesehatan. Kemudian dalam ayat (3) Perbekalan Kekarantinaan Kesehatan meliputi kesediaanfarmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya yang diperlukan.Â
Namun, kenyatannya, begitu banyak RS di beberapa daerah pelosok yang masih belum memadai dengan contoh konkretnya hanya beberapa RS tertentu yang dijadikan rujukan corona, artinya, hanya RS tertentu saja yang dapat menjadi rusukan pasien yang terinfeksi corona. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor: SR.02.02/II/270/2020 bahwa Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menyiagakan sebanyak 100 rumah sakit yang tersebar di 31 Provinsi di Indonesia dan 37 rumah sakit tambahan untuk menangani pasien terjangkit virus Covid-19.
Namun yang perlu menjadi perhatian adalah, bila kita melihat data dari Kementerian Kesehatan terkait jumlah keseluruhan rumah sakit di seluruh Indonesia yang berjumlah 2.813 dengan jumlah rumah sakit yang dijadikan rujukan yakni hanya 131 rumah sakit, maka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat kekurangan terkait akses masyarakat dalam hal kesehatan. Dari perbandingan data tersebut, bahwa hanya sekitar 4,7% rumah sakit yang bisa dikatakan layak untuk menjadi rujukan pasien terjangkit virus Covid-19.Â
Sehingga, hal ini tentunya menjadi PR besar bagi Pemerintah kedepannya dalam melakukan pemenuhan kesehatan baik dari segi kelayakan maupun fasilitas penunjang kesehatan masyarakat.
Solusi yang Bisa Dilakukan
Dari beberapa kekurangan tersebut tidak kemudian menjadikan pemberlakuan New Normal merupakan suatu kebijakan yang bisa kita tolak sepenuhnya. Karena faktanya, eksistensi dari new normal ini tetap akan kita rasakan baik kita menolak kebijakannya atau setuju terhadap kebijakannya. Seperti yang kita lihat saat ini, bahwa dalam pemberlakuan PSBB saja, masyarakat masih tetap bekerja, terutama masyarakat yang berstatus sebagai swasta.Â
Artinya, desakan situasi, baik darurat ekonomi ataupun darurat kesehatan, pasti akan terjadi dalam waktu yang berbarengan jika kita tidak setuju dengan adanya new normal, dan mau tidak mau, new normal pasti akan terjadi di negara kita.
Maka, itu kenapa ketika kita mengetahui kekurangan dari implementasinya, maka bukan kebijakannya yang kita tolak, namun output dari kebijakannya lah yang harus kita perbaiki. Jika persoalannya adalah karena kasus Corona yang masih meningkat, maka yang kemudian menjadi perhatian dalam menerapkan New Normal adalah bagaimana tujuan utama dari kebijakan itu harus dipastikan dapat berjalan tanpa menimbulkan adanya masalah baru. Protokol kesehatan tetap akan diterapkan sehingga New Normal bukan kemudian menjadi kebijakan yang abai terhadap kesehatan, karena akar dari permasalahannya bukan karena alasan New Normal ini diberlakukan, namun output dari kebijakan New Normalnya.
Berkaitan dengan angka positif Covid-19 di Indonesia yang belum juga menunjukkan penurunan sementara Pemerintah juga harus mencari jalan keluar terbaik dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi terutama berkaitan dengan kesehatan dan perekonomian. Maka pemerintah dalam menerapkan New Normal harus benar-benar memperhatikan protokol kesehatan sebagai upaya dalam memastikan terkendalinya laju peningkatan kasus positif Corona di Indonesia serta memastikan bagaimana roda perekonomian juga tetap berjalan.Â
Sehingga ketika persoalannya adalah penggerak roda perekonomiannya pun yang harus sehat, maka bisa kita berikan permisalan, jika Indonesia ada 10 penduduk dan yang sehat ada 8 sedang yang sakit ada 2 orang, apakah mungkin kemudian 8 orang ini menunggu yang 2 sehat? Tentu tidak. 2 orang akan tetap berada di rumah sakit, dan akan tetap dirawat. Swab test dan rapid test tetap diberlakukan. Dan yang 8 akan tetap bekerja dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, sehingga baik perekonomian, maupun kesehatan tetap akan berjalan dengan baik dan beriringan.
Tidaklah dapat dimungkinkan ketika kita menganalisa suatu kebijakan dari Pemerintah hanya dari satu sisi, karena secara alamiahnya saja, ketika kita menolak New Normal, maka secara otomatis kita akan kembali dengan kebijakan yang lama yakni PSBB. Jika memang kita tidak setuju juga dengan PSBB, lantas skenario seperti apa yang akan kita terapkan untuk negara kita? Jawabannya adalah dengan memberikan gagasan terbarukan dari setiap impelementasinya, baik dari PSBB ataupun New Normal.
Maka dari itu, sekali lagi jika masih terdapat kekurangan dalam kebijakannya, maka bukan kebijkannya yang kita tolak, namun implementasinya lah yang diperbaiki. Yakni dengan membuat regulasi terkait New Normal yang mengutamakan keselamatan rakyat dengan mengedepankan pendekatan kesehatan, pendidikan publik, dan partisipasi masyarakat untuk penanggulangan pandemi Covid-19 dengan mengoptimalkan UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana atau optimalisasi dari Peraturan Menteri Kesehatan RI, melengkapi paket kebijakan peraturan pelaksana kekarantinaan kesehatan sebagaimana mandat UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mencakup karantinta rumah, RS, dan wilayah. Peraturan ini dibutuhkan sebagai alternatif kebijakan kekarantinaan kesehatan selain PSBB.Â
Kemudian melakukan evaluasi kebijakan penanganan pandemi Covid-19 secara transparan dan akuntabel serta merumuskan kebijakan yang sistematis, efektif dan berdasarkan hukum untuk menanggulangi wabah berbasis data dan ilmiah dan Menambah pemberlakuan pelaksanaan new normal dengan menyertakan ancaman sanksi pidana dengan didasarkan padaperundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan di pasal 93 ayat 9 ancaman 1 tahun penjara dan denda 100 juta, atau sanksi sosial sebagai primum remedium.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H