Namun fakta yang kemudian menarik untuk diperhatikan adalah ketika penerapan PSBB (PMK No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19) bahwa justru masih terdapat adanya penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh yang terjadi di Jawa Timur sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat bahwa tingkat kepatuhan masyarakat yang masih rendah (Jakarta, Minggu, 03/05/2020). Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya sebuah pabrik di Jawa Timur yang masih beroperasi saat PSBB sudah berjalan, dimana dua pekerja di pabrik tersebut kemudian menjadi pasien dalam pengawasan (PDP) hingga menimbulkan titik penyebaran baru. Sejumlah karyawan perusahaan tersebut kemudian dinyatakan positif Covid-19 dan pabrik tersebut ditutup beberapa hari setelah dua karyawannya yang positif Covid-19 tersebut meninggal dunia.
Maka dalam hal ini, bukan tidak mungkin kemudian, bahwa masyarakat akan lebih condong dan semakin acuh terhadap kesehatan ketika tidak ada payung hukum yang mengawasinya dan aturan yang konkret sebagai panduan dari New Normal itu sendiri dikarenakan belum ada panduan yang jelas terkait penerapan New Normal. Sehingga nantinya, tidak dapat kita pungkiri bahwa pelaksanaan New Normal ini justru akan berlandaskan pada kondisi daerah dan bukan pada standardisasi kesehatan.Â
Kemudian yang juga perlu kita ketahui adalah persoalan standar kesehatan harusnya diterapkan secara objektif, bukan subjektif setiap daerah. Artinya adalah terkait pedoman pelaksanaan New Normal, baik itu mulai dari tata cara pelaksanaan atau standar pelaksanaannya harus berlaku secara nasional. Selanjutnya adalah adanya regulasi yang konkret serta panduan yang jelas yang disesuaikan oleh Kemenkes RI.
Seperti yang diungkapkan oleh Roscoe Pound bahwa hukum pada dasarnya adalah sebagai alat kontrol bagi masyarakat. Lebih lanjut, hukum sebagai alat control social ini berperan dalam setiap lapisan realitas sosial. Emile Durkheim mengungkapkan bahwa salah satu lapisan dari suatu realitas sosial ini adalah lapisan institusi dan kebiasaan kolektif, bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat suatu kebiasaan yang terbentuk yang kemudian membawa pada pola pikir masyarakat akan suatu hal.Â
Kaitannya adalah bahwa transisi kebijakan yang satu ke kebijakan yang lain, yakni dari PSBB kemudian mengarah kepada New Normal, dimana saat ada regulasi masih terdapat masyarakat yang acuh akan kesehatan dan himbauan dari pemerintah, bagaimana mungkin New Normal kemudian akan diterapkan tanpa adanya instrumen hukum atau pedoman yang dapat dijadikan sebagai alat kontrol masyarakat. Sehingga pola pikir masyarakat inilah yang nantinya dikhawatirkan akan semakin membawa masyarakat kepada sikap acuh dan tidak peduli terhadap kondisi saat ini.
Mengingat kasus positif corona di Indonesia hari ini yang terus mengalami peningkatan, sebagaimana data yang di proleh per 27 Juni 2020 kasus positif covid-19 mengalami peningkatan sejumlah 1.385 kasus, sehingga total positif covid-19 di Indonesia berjumlah 52.812 kasus. Dengan melihat angka positif Corona hari ini yang terus meningkat, terlebih ketika New Normal mulai diberlakukan, tanpa adanya regulasi yang mengatur secara konkret dan jelas baik itu dari segi pelaksanaannya maupun terkait sanksi di dalamnya, hal ini justru dikhwatirkan bukan menekan peningkatan kasus Corona di Indonesia, namun membuat masalah justru semakin mengantri dan malah keluar dari dasar filsofis mengapa kebijakan ini ingin diterapkan. Â
Berangkat dari objektivitas kesehatan yang diharuskan dalam penerapan new normal untuk menerapkan standar yang sama di semua daerah. Maka kebijakan ini perlu dikaji kembali terkait bagaimana urgensi dari regulasi itu sendiri sebagai bentuk objekivitas standar kesehatan dalam penerapan New Normal. Jika memang pelaksanaan New Normal ini akan dikembalikan kepada kondisi daerah masing-masing, maka sama halnya dengan PSBB. Ketika PSBB pun juga diserahkan kepada daerah masing-masing, namun bukan tidak mungkin kemudian cara penerapannya juga diserahkan kepada daerah masing-masing itu juga, dalam artian implementasi pelaksanaan PSBB sudah terdapat panduan jelasnya dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020, sehingga artinya, ketika pelaksanaannya tidak diterapkan dalam waktu serentak, namun cara pelaksanaannya haruslah sama.Â
Hal ini mengingat bahwa New Normal sendiri berkaitan dengan kesehatan, artinya dalam hal keterlibatan penerapannya juga harus benar-benar dari orang yang ahli dalam kesehatan dan objektif dalam menerapkan standar kesehatan, tidak bisa kemudian cara pelaksanannya hanya bergantung kepada kepala daerah itu sendiri.
Padahal jika dilakukan perbandingan, sudah jelas diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PP No. 21 Tahun 2020 terkait PSBB untuk mengajukan daerahnya kepada Kemenkes RI dan secara eksplisit pula panduan pelaksanaan PSBB sudah diatur dalam regulasi yang jelas yang meliputi semua aspek. Berbeda kemudian dengan pelaksaan New Normal, dimana pelaksaan dan eksekusinya pun belum diberikan standar yang jelas yang seharusnya tidak hanya perekonomian saja yang diatur dalam regulasi New Normal seperti dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 yang hanya mengatur tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri. Karena jika pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan, maka harusnya regulasinya diterapkan dengan sangat komprehensif yang tidak hanya meliputi bidang perekonomian namun juga bidang sosial lainnya.Â
Artinya adalah, tanpa adanya regulasi berkaitan dengan indikator atau persyaratan sebuah kebijakan itu diterapkan, maka jangan sampai setiap daerah berlomba-lomba untuk menerapkan new normal tanpa adanya keterlibatan orang-orang yang memang ahli di bidangnya yakni di bidang kesehatan hanya karena tidak ada regulasi yang mengaturnya.
Dalam pembuatan suatu kebijakan sebagaimana yang diungkapkan oleh William Dunn, tidak lepas dari yang namanya sebuah tahapan, salah satu tahapan ini adalah formulasi kebijakan. Dalam tahapan ini, masalah yang masuk dalam agenda kebijakan, dibahas oleh pembuat kebijakan dengan melibatkan pihak-pihak atau ahli-ahli di dalamnya untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.Â