Inkulturasi Menurut Sacrosanctum Concillium
Inkulturasi dalam Liturgi atau dalam bahasa dokumen Sacrosanctum Concillium disebut sebagai "Kesenian Liturgi". Paus Yohanes Paulus II  beserta Bapa-Bapa Konsili merupakan wakil dari  Gereja Universal, Gereja menerima  kehadiran "Kesenian Liturgi". Mengapa Gereja menerima kehadiran "Kesenian Liturgi" ? karena Gereja menyadari bahwa kesenian Liturgi dapat menghantar umat kepada Allah asalkan "Kesenian Liturgi" tersebut memenuhi beberapa syarat. Syarat utama dari Kesenian Liturgi harus selaras dengan ajaran iman Katolik. Syarat sekunder dari Kesenian Litugi yaitu  memerhatikan aspek kelayakan dan aspek keindahan.
Oleh karena itu, Gereja perlu merangkul dan membina seniman Katolik maupun seniman dari agama lain. Caranya dengan mendirikan sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian ibadat. Sehingga, mereka mau bekerjasama dengan Gereja untuk mengembangkan Kesenian Liturgi.
Pembinaan para seniman perlu memperhatikan bentuk-bentuk dari inkulturasi. Penulis menyajikan dua contoh bentuk dari Inkulturasi yaitu bangunan Gereja dan bahasa liturgi.
Bangunan Gereja Menurut Pedoman Umum Missale Romawi dan Sacrosanctum Concillium
Perihal ulasan tentang bangunan Gereja telah dibahas dalam dokumen Sacrosanctum Concillium. Prioritas utama dalam pembangunan gereja yaitu  aspek communio/ persekutuan jemaat secara fisik dalam satu bangunan gereja dan bangunan rohani (berkumpul atas nama Tuhan). Kemudian, hal sekunder yang tak kalah penting yaitu aspek kelayakan dan kenyamanan gereja. Terakhir, pembangunan gereja perlu memperhatikan hal tersier yaitu pembangunan perlu selaras dengan budaya setempat dan tuntutan zaman.
Pembangunan Gereja perlu memerhatikan dan menjawab berbagai pertanyaan tentang prioritas utama. Ada beberapa pertanyaan yang muncul "Apakah kehadiran gereja fisik mampu membangun persekutan jemaat  yang sehat ? Apakah kehadiran Gereja mampu membangun iman dari persekutan jemaat?" Pertanyaan tersebut perlu dijawab supaya pembangunan gereja dapat sesuai dengan prioritas utama.
Kelayakan dan kenyamanan gereja berkaitan dengan pembuatan dan penempatan posisi benda-benda yang mendukung situasi liturgis (hal sekunder). Bangunan Gereja perlu memperhatikan beberapa hal yaitu mengenai bentuk dan pembuatan altar, keanggunan serta penempatan berbagai benda litugi secara tepat dan proporsional (seperti panti Baptis, gambar-gambar kudus, patung-patung kudus, hiasan, pajangan). Itulah hal sekunder yang perlu diperhatikan saat hendak membangun gerej
Beberapa hal praktis tentang pembuatan dan penempatan posisi benda kudus (hal sekunder) telah disampaikan dalam Pedoman Umum Missale Romawi. Aspek utama dalam pembuatan dan penempatan posisi benda kudus yaitu mampu menghadirkan tanda dan lambang surgawi. Aspek lainnya yaitu pantas dan indah. Dua aspek ini berlaku untuk penempatan hiasan gereja. Penempatan hiasan gereja perlu diperhatikan kualitas, keangunan dan kesederhanaan. Sedangkan, penempatan perlengkapan gereja perlu memerhatikan aspek pendidikan iman kepada umat.
 Hal tersier tentang pembangunan yang selaras dengan budaya dan  tuntutan zaman. Perkembangan budaya dan tuntutan zaman sangat berkaitan dengan pola pikir dari suatu masyarakat. Oleh karena itu, pada bagian tersier, tugas pentig perlu dilakukan Imam khususnya Pastor paroki yaitu mengamati, menganilisis dan menilai pola pikir dari suatu masyarakat. Sehingga, Pastor paroki dapat mengambil keputusan secara bijaksana. Maka, bangunan Gereja merupakan bagian dari proses inkulturasi.
Bahasa LiturgiÂ
Setiap orang memerlukan bahasa karena bahasa merupakan sarana untuk mengungkapkan sebuah ide kepada orang lain. Tukang becak memerlukan bahasa untuk mengungkapkan ide, ide dari tukang becak ialah menawarkan jasa untuk menghantar penumpang ke suatu tujuan. Pedagang memerlukan bahasa untuk menjual dagangan mereka, itulah ide dari pedagang. Tukang jahit memerlukan bahasa untuk menawarkan jasa mereka untuk menjahit kain maupun pakaian dari pelanggan. Bahkan seluruh umat beriman menggunakan bahasa untuk mengungkapkan iman mereka. Â
Bahasa digunakan dalam  Liturgi Gereja Katolik,  bahasa dalam litugi Gereja disebut sebagai Bahasa liturgi.Mengapa Gereja Katolik menggunakan bahasa? Gereja menggunakan bahasa untuk mengungkapkan iman. Iman dirayakan secara bersama-sama dalam sebuah perayaan Litugis di sebuah gereja atau tempat yang dijadikan sebagai tempat beribadah. Oleh karena itu, dalam Sacrosanctum Concillium disebut sebagai bahasa Liturgi.
Bahasa Litugi dalam Gereja Katolik yaitu bahasa Latin. Mengapa? Karena hal tersebut berkaitan dengan sejarah. Kekaisaran Romawi menggunakan bahasa Latin  sebagai bahasa resmi. Sejak Kaisar Konstantinus menjadikan agama Katolik sebagai agama dari Kekaisaran Romawi, masyarakat dari daerah jajahan Kekaisaran Romawi memeluk agama Katolik. Kekaisaran Romawi menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa sehari-hari. Setiap umat Katolik mengikuti perayaan Liturgi Gereja Katolik menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa Liturgi. Hal ini terjadi pada zaman kekaisaran Romawi hingga sebelum Konsili Vatikan II.  Setelah konsili Vatikan II, teks-teks dalam bahasa Latin diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dari negara-negara maupun dari suku bangsa.  Hal ini dilakukan Gereja supaya Kabar Sukacita dapat disampaikan ke seluruh suku bangsa.
Maka, bahasa liturgi merupakan bagian dari inkulturasi atau disebut Kesenian Liturgi.
Kesimpulan
Gereja Katolik menyadari keberagaman suku-bangsa dari jemaat. Sehingga, Gereja Katolik hendak menyebarkan Kabar sukacita Injil kepada seluruh suku-bangsa melalui. Proses ini disebut sebagai proses inkulturasi. Proses inkulturasi perlu memenuhi beberapa syarat sehingga tidak terjadi kesesatan. Dua bentuk inkulturasi dalam Gereja Katolik yaitu bangunan dan bahasa. Inti dari proses inkulturasi bangunan dan bahasa yaitu dapat menghantar umat kepada Kristus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H