Mohon tunggu...
AmYu Sulistyo
AmYu Sulistyo Mohon Tunggu... Mahasiswa -

@amyu12 || Ambar Sulistyo Ayu || Seorang Calon Perencana yang Real akan merealisasikan rencana membuat Kota Impian dunia || T.PWK Undip 2012 || Project taker

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hanya Bunga Tidur 1: (Bukan) Secret Admirer

11 Juli 2015   05:03 Diperbarui: 11 Juli 2015   05:03 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kisah ini kuambil dari mimpi yang kuraih dalam tidurku"]
[/caption]

Warung ayam goreng langgananku tutup, aku ingin beranjak ke tempat lain. Namun di luar dugaan ada motor yang parkir di parkiran depan warung.

“Lhoo Ardi” aku sangat kaget melihat siapa di balik helm.

“lhooo… Nada” katanya.

Dia baru saja selesai menamatkan pendidikan di salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur. Kami mengobrol bentar, dan yang kudapatkan adalah dia masih sama, masih agak Lola namun sangat welcome dan ramah.

“Ohya nada, masih ingat soal surat di kelas bu Nani?”

Lalu aku diam sejenak

“Iya aku ingat”

 

****

 

“Silahkan tulis di selembar kertas, ibu ingin kalian menuliskan siapa yang kalian anggap bisa kalian idolakan di kelas ini. Ibu ingin kalian memberi jawaban yang jujur, tak perlu puitis namun bisa menjelaskan perasaan kalian.”

“Waaahh… Waaaahhh…” seru anak sekelas.

“Tenang-tenang, kalian jangan tulis nama kalian, cukup orang yang kalian idolakan di kelas ini ya!”

“Alhamdulillah.” seru sebagian besar temanku yang mungkin mereka tidak ingin mengungkapkan perasaannya.

Ohya, namaku Nada, hanya siswi biasa. Hari ini Bu Nani memberikan tugas yang berat menurutku, ya mungkin aku akan menuliskan Rahma, temanku yang cantik, kaya, kalem, dan rangking 1 di kelas. Alasannya simple, dia sangat perfect. Lalu jika yang aku tuliskan seorang pria, mungkin aku akan menuliskan Dion, temanku yang berprestasi membawa nama Indonesia di ajang SEA GAMES. Ya, aku menuliskan nama Rahma saja, bagiku sudah cukup. Aku menutup kertas itu seusai kutulis, meskipun sebelahku tak akan menengok karena sebelahku ini adalah bangku kosong.

Humm, aku tak punya teman duduk, tak ada orang yang ingin kusebelahi, mungkin aku terlalu ekstrovert, terlalu banyak yang kuceritakan sehingga membuat semua orang menjauh. Tentu juga aku yakin namaku tak akan ada di salah satu kertas yang dituliskan teman-temanku hari itu.

 

Benar saja, Dion, Rahma, Nindy, 3 nama itu bertengger di rangking atas yang dipilih anak-anak kelasku untuk diidolakan. Nama-nama lain seperti Donna, Afif, Gibran, dan Meisyi, mereka ketahuan memuji pasangan mereka satu sama lain.

“Kau bagai bunga yang ada di green house sekolah kita, indah mewangi.” Jelas saat bu Nani membacakannya semua anak tertawa. Bahkan tawanya itu dimulai dari baris perbaris. Bu Nani sebetulnya geleng-geleng dengan surat itu. Hanya surat unik yang akan dibacakan. Lalu bu Nani sedikit terheran saat melihat salah satu lembar yang ia baca dalam-dalam.

 

“Teman-teman, mohon di dengar, ini yang terakhir dan menurut ibu agak berbeda.” semua terdiam, namun mereka pasti menganggap yang setelah ini akan menjadi hal yang lucu.

 

“Mungkin aku akan berbeda dari teman-teman

aku akan memilih orang yang kalian benci untuk aku sukai.

Kau tau, namamu itu indah kudengar,

karena seperti sebuah lagu

namun aku tak ingin merayu

terlalu banyak yang memakimu dan berkata bahwa kau dekil dan tak terurus

aku tak ingin kau terus dimaki

namun aku tahu mengapa kau begitu.

 

Tiap hari kau menawarkan roti yang kau jual kepada kami dengan berkeliling

saat ulangan, kau tak pernah menengok untuk kami

meskipun begitu kau akan menengok dengan senang hati saat kami butuh bantuan mengerjakan PR

kami sering mencemoohi mu dengan kalimat kasar, namun kamu tak bergeming

dengan kecerdasanmu di bidang komputer, kamu juga menawarkan jasa reparasi

mungkin orang menganggap dengan itu kamu akan kaya, namun kamu tetap sederhana.

 

Aku suka melihat tampilanmu, jilbab lebar yang kamu kenakan serta senyum yang tak pernah lepas dari wajahmu selalu terbayang, meskipun wajahmu berpeluh dan penuh keletihan, tapi itulah sederhana.

penampilanmu apa adanya, tanpa dibuat-buat siapapun.

Kau sangat aktif di kelas, namun kau sering sekali harus menanggung malu karena kesalahanmu dalam menjawab, namun aku heran kau tak pernah patah semangat dan malah terus mencoba.

 

Di luar sana kau selalu berjalan kaki, aku sedih melihat sepatumu sudah sobek namun kau tetap berjalan menginjak kerikil-kerikil itu sepanjang jalan, dan aku sangat tahu ketika kau sampai rumah, kau bukan lagi seorang siswi, tetapi pengganti ibu, kau melaksanakan kewajiban membersihkan rumah, mencuci baju, dan mencuci piring. Setelah itu kau mengerjakan tugas, lalu membuat roti yang akan kau jual esok harinya.

Aku sangat mengerti kegigihanmu,

kau sangat menjaga kejujuran hingga kau terpojok,

cemoohan yang kau terima sangat tidak pantas kau dengar,

mereka tidak tahu bagaimana berharganya kasih sayang orang tua.

mereka tidak tahu bagaimana berharganya sebuah ilmu.

 

Jikalau di masa depan aku ingin memilih

aku ingin memilihmu untuk menata masa depan bersamaku

aku tak ingin anak-anakku dipegang oleh seseorang yang hanya hidup dari kepalsuan

aku tak ingin anak-anakku lepas pengawasannya hanya karena sang ibu sibuk bersolek,

aku percaya bahwa Nada akan menjadi ibu yang baik suatu hari nanti.

 

Hanya penggemar rahasia.

 

 

“Ciyeeee nada, dari siapa itu bu?” tanya anak sekelas yang seluruhnya saling bersautan. Aku terkejut ada yang memilihku, padahal aku sendiri merasa aku belum sehebat seperti apa yang sekiranya surat itu utarakan. Saat teman-teman melihat suratnya, mereka bingung karena tidak ada satupun yang tahu surat siapa itu, tulisannya tidak dikenal. Benar-benar untuk menuliskan surat itu sang penulis membedakan tulisannya dengan tulisan sehari-harinya.

 

****

“Kamu sudah tahu siapa yang menulis surat itu?”

“belum, Di.” jawabku. Sebenarnya aku penasaran, tapi lupakan, mungkin saat itu si penulis tidak serius.

“Jika penulisnya adalah aku apakah kau percaya, Nad?”

 

Lalu tatapannya berpendar. Aku hanya bisa terdiam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun