Sistem hukum nasional berkembang seperti tradisi (hukum) Perancis (civil law system), merupakan sistem hukum perundang-undangan hasil sistematisasi produk-produk kesepakatan badan legislatif dalam bentuk tertulis (~salah satu karakternya bersifat positif dalam arti: dinyatakan secara eksplisit dalam pasal/ayat tertulis, disebut juga hukum positif), (dan) juga berkembang (dengan) hasil sistematisasi "judge-made laws"[1] seperti tradisi (hukum) Inggris (common law system), (dan juga dituangkan) dalam bentuk tertulis.
Â
Sedangkan, di dalam masyarakat, di satuan komunitas lokal, juga terdapat norma/hukum/adat/kebiasaan dalam bentuk tidak tertulis yang "hidup", aktual, nyata ada, dan (mungkin) kita seringkali menemukannya dalam keseharian kita. Dalam satuan-satuan itulah mereka akan berperilaku dengan ketaatan relatif, ketaatan yang tidak selalu (~atau belum tentu) berawal dari kesadaran dan kesediaan secara ikhlas untuk patuh, tetapi bisa juga karena ketakutan akan terkena kontrol sosial dan ancaman sanksi yang melekat pada setiap norma itu.[2] Â
Â
Dualitas bukan dikotomi hukum
Sebagai pemantik kontemplasi, dengan berupaya tidak terlalu berdialektika hukum dan tanpa maksud mempertentangkan antara satu dan lainnya tersebut, dengan kata lain, kedua (bentuk) hukum (tertulis dan tidak tertulis) tersebut berpotensi "terpikir-dan-terasa" sama-sama "benar" atau (setidaknya) sama-sama "tidak salah", namun saling berbeda antara satu dan lainnya, contoh singkatnya, boleh (~atau tidak diatur) menurut yang satu, tapi tidak boleh menurut yang lainnya, melanggar menurut yang satu, tapi tidak melanggar menurut yang lainnya. Jika satu dan lainnya tersebut saling berhadapan di dalam masyarakat, terdapat berbagai macam pandangan/pemikiran hukum, beberapa diantaranya, sebagai berikut di bawah ini.
Â
Dengan mengingat bahwa alam telah menempatkan manusia di bawah kekuasaan (manusia terkait) kesenangan dan kesusahan, manusia yang hidup sebagai masyarakat tujuannya hanya mencari kesenangan dan menghindari kesusahan sebagaimana dipaparkan Jeremy Bentham[3], hingga (bagaimanakah) reaksi manusia/masyarakat yang mengalami/berhadapan dengan satu dan lainnya tersebut (apakah) sebagai (a)Â kesenangan (~atau yang dianggapnya tidak lebih menyusahkan daripada hal lainnya) atau sebagai (b)Â kesusahan (~atau yang dianggapnya tidak lebih menyenangkan daripada hal lainnya).
Â
Selain itu, terdapat aliran legalisme atau legisme yaitu aliran dalam ilmu pengetahuan (hukum) dan peradilan yang tidak mengakui hukum di luar undang-undang (~yang tertulis)[4]. Aliran legalisme atau legisme tersebut, yang juga seringkali disebut/dianggap sebagai positivisme hukum (~condong pada hukum positif, hukum tertulis), sekiranya relatif dapat secara langsung/sederhana dipahami maksudnya.
 Â
Selain itu, terdapat aliran sociological jurisprudence (~disebut juga studi sosio-legal, jurisprudence bukan dimaknai yurisprudensi). Sociological jurisprudence atau sosio-legal, salah satunya, diadopsi Indonesia dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat"[5]. Pandangan lain yang sejenis, "pusat gravitasi perkembangan hukum sepanjang waktu dapat ditemukan, bukan di dalam perundang-undangan dan dalam ilmu hukum atau putusan pengadilan, melainkan di dalam masyarakat itu sendiri."[6].
 Â
Pengembangan sociological jurisprudence oleh Roscoe Pound dengan pandangannya terkait "social interest" atau "kepentingan sosial", "...the law is an attempt to reconcile, to harmonise, to compromise these overlapping or conflicting interest... so as to give effect to the greatest number of interest, or to the interests that weigh most in our civilization..."[7], dapat pula menjadi landasan akan aspek masyarakat atau kepentingan sosial masyarakat untuk menunjang analisis masalah-masalah hukum yang ada di Indonesia, dalam hal ini melalui pendekatan sociological jurisprudence, dalam tafsir filsafat Pancasila.
Â
Tentunya kajian terkait antara hukum tertulis (hukum positif) dan hukum yang tidak tertulis (di dalam masyarakat) tidak sesederhana ini yang sebatas cuplikan sangat kecil sebagai pemantik kontemplasi/renungan dengan pikiran/perhatian penuh dari kita masing-masing bilamana menemukan pertemuan/persinggungan antara hukum tertulis (hukum positif) dan hukum yang tidak tertulis (di dalam masyarakat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H