Selain itu, terdapat aliran sociological jurisprudence (~disebut juga studi sosio-legal, jurisprudence bukan dimaknai yurisprudensi). Sociological jurisprudence atau sosio-legal, salah satunya, diadopsi Indonesia dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat"[5]. Pandangan lain yang sejenis, "pusat gravitasi perkembangan hukum sepanjang waktu dapat ditemukan, bukan di dalam perundang-undangan dan dalam ilmu hukum atau putusan pengadilan, melainkan di dalam masyarakat itu sendiri."[6].
 Â
Pengembangan sociological jurisprudence oleh Roscoe Pound dengan pandangannya terkait "social interest" atau "kepentingan sosial", "...the law is an attempt to reconcile, to harmonise, to compromise these overlapping or conflicting interest... so as to give effect to the greatest number of interest, or to the interests that weigh most in our civilization..."[7], dapat pula menjadi landasan akan aspek masyarakat atau kepentingan sosial masyarakat untuk menunjang analisis masalah-masalah hukum yang ada di Indonesia, dalam hal ini melalui pendekatan sociological jurisprudence, dalam tafsir filsafat Pancasila.
Â
Tentunya kajian terkait antara hukum tertulis (hukum positif) dan hukum yang tidak tertulis (di dalam masyarakat) tidak sesederhana ini yang sebatas cuplikan sangat kecil sebagai pemantik kontemplasi/renungan dengan pikiran/perhatian penuh dari kita masing-masing bilamana menemukan pertemuan/persinggungan antara hukum tertulis (hukum positif) dan hukum yang tidak tertulis (di dalam masyarakat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H