Perlu dicatat bahwa siaran TV digital berbeda dengan layanan TV streaming, seperti halnya Netflix dan sejenisnya. Sehingga siaran ini tidak memerlukan kuota internet yang tentunya membutuhkan  biaya tambahan. Siaran TV Digital juga bukanlah siaran TV satelit (parabola), yang dalam penggunaannya memakai perangkat yang berbeda seperti antena parabola dan receiver yang biayanya bisa ratusan hingga jutaan rupiah. Sinyal tetap dapat diterima dengan menggunakan perangkat antena UHF yang telah dimiliki masyarakat. Bagi yang masih menggunakan televisi analog -- baik tabung maupun LED -- tidak perlu mengganti TV lama tersebut dengan yang baru. Namun cukup membeli Set Top Box (STB) yang sudah mendukung DVB-T2 sebagaimana sudah disebutkan di atas. STB ini cukup dihubungkan dengan antena UHF lama. Cara pemakaiannya sangat mudah dan dapat diaplikasikan pada beragam jenis TV apa pun. Untuk harganya bervariasi rata-rata berkisar di angka Rp. 100.000 sd Rp. 200.000. Dan ada kabar baik dari Kemkominfo RI bahwa dalam proses tahapan migrasinya nanti akan disediakan secara bertahap STB yang dibagikan secara gratis bagi masyarakat tertentu.
Dilansir dari laman CNBC Indonesia, tahapan migrasi dari siaran TV analog ke siaran TV digital dilakukan dalam 5 (lima) tahap berdasarkan wilayah, di mana batas waktunya tidak boleh melebihi tanggal 2 November 2022. Maka dengan demikian masyarakat harus bersiap terhadap alih teknologi ini. Istilah yang dipakai untuk proses peralihan ini dikenal dengan nama Analog Switch Off (ASO). Negara kita pada dasarnya cukup terlambat dalam penerapan teknologi siaran digital. Kesepakatan International Telecommunication Union (ITU) di Jenewa pada tahun 2006, telah menyepakati bahwa batas akhir dihentikannya siaran analog (ASO) dan penerapan sepenuhnya siaran TV digital oleh seluruh negara anggota ada pada tanggal 17 Juni 2015. Artinya kita sudah tertinggal 6 (tahun) lamanya semenjak kesepakatan itu tercapai.
Oleh sebab itu melalui UU Nomor : 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja -- omnibus law -- pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terbatas terhadap Undang-Undang penyiaran dimana dalam salah satu pasalnya disebutkan : "Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital". Ini merupakan dasar hukum dimulainya proses migrasi penyiaran digital.
 Penutup
TV merupakan salah satu kebutuhan yang melekat saat ini. Berbeda dengan layanan online yang harus memiliki kuota internet, siaran TV digital bersifat bebas atau free to air. Tahapan penghentian siaran analog (ASO) sampai dengan bulan November 2022 harus dimanfaatkan oleh masyarakat selaku pengguna dan pemerintah itu sendiri. Kemkominfo RI selaku lembaga yang menaungi hal ini, memiliki kewajiban untuk bekerja secara cepat mempersiapkan berbagai peraturan yang mengatur teknis pelaksanaan digitalisasi penyiaran. Seperti proses perijinan, tata kelola siaran, tanggung jawab lembaga penyiaran maupun pengelola multipleksing, serta pengawasan penyiaran digital. Bagi masyarakat sendiri dapat memanfaatkan waktu yang ada dengan menggali dan menambah pengetahuannya terkait dengan siaran TV digital, baik itu secara pengertian maupun hal-hal teknis lainnya yang berkaitan dengan hal itu.
Selain manfaat langsung yang dapat dirasakan masyarakat sebagaimana disebutkan sebelumnya, migrasi dari TV analog ke TV digital juga mendukung sektor komunikasi karena dapat menghemat penggunaan pita frekuensi. Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, melalui web Kemkominfo menyatakan bahwa hasil efisiensi akan dialokasikan untuk mendukung layanan telekomunikasi seluler. Sebab peralihan tersebut akan menimbulkan deviden -- sisa rentang frekuensi -- yang tidak terpakai dapat dipakai untuk teknologi 5G. Disamping itu ada juga efek berantai lainnya seperti peluang untuk memunculkan unit usaha baru sebagai dampak pertumbuhan pemain-pemain baru dalam penyiaran digital.
Sebagai pengguna dan masyarakat pada umumnya, saya sendiri masih menggunakan perangkat TV lama yang dibeli sekitar 5 (lima) tahun lalu. Walau berjenis LED namun belum dibekali dengan kemampuan menangkap siaran digital atau DVB-T2. Kebutuhan akan perangkat tambahan berupa STB menjadi keniscayaan. Melalui marketplace online, kebutuhan ini terpenuhi dan kini sudah terpasang dengan baik tanpa harus mengganti antena TV yang lama dengan yang baru. Hasilnya tentu menjadi hiburan tersendiri sekaligus salah satu sarana edukasi bagi seisi rumah. Bagaimana dengan Anda ? []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H