Mohon tunggu...
Muhammad Rifqi
Muhammad Rifqi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sekedar sapiens yang hadir dari Mahakam. Mencoba menulis pikiran, dan perjuangan. Berupaya memantik revolusi, dan berdiri dalam segala pembelaan kaum Marjinal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sahdu Hujan Pada Lorong-Lorong Mahakam

24 Januari 2025   23:10 Diperbarui: 25 Januari 2025   01:48 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kegembiraan hujan di Samarinda (Sumber: pribadi)

Ketika menyusuri gang-gang kecil di Samarinda dalam pelik kehidupan kota yang ramai. Maka menginjakan kaki pada lorong-lorong gang kecil di kota dengan ikon Pesut dan Sungai Mahakam ini menjadi sesuatu yang menarik.

Pada banyak kegiatan bernama "Susur Gang Samarinda" banyak cerita yang membekas dalam setiap langkah. Misalnya, hujan.

Kehidupan lorong gang, dengan pusat kota jelas nampak berbeda. Ntah secara sosiologi dan antropologi. Jika mungkin kita melipir sedikit ke pusat kota, jelas keakraban antar manusia sudah jarang nampak. Tapi pada lorong gang yang jarang terjamah kehidupan kota disanalah kemewahan itu masih ada.

Hujan yang kata Khalil Gibran merupakan "puisi langit yang jatuh ke bumi, menghapus luka, menyembuhkan jiwa, dan memberikan kehidupan baru bagi yang mati." Walau terkadang ketika hujan saat menyusuri gang harus menepi pada rumah warga dulu, keren-kerennya untuk menikmati rintiknya.

Tetapi ketika menepi tersebutlah cerita-cerita didapatkan. Cerita dari kegiatan masyarakat urban Samarinda. Karena saat hujan tiba segala aktivitas begitu saja terganti tawa anak-anak, dan asap rokok dari para tetua.

Satu ketika, saat menyusuri gang di Sungai Pinang Luar hujan deras turun dan menghapus CO2 yang bergelimang dari ramai kendaraan kota. Kelompok susur memilih untuk menepi sekejap menunggu reda, sehingga penampakan senja dengan balutan gelap awan Samarinda menemani tarhim maghrib dari masjid-masjid sekitar.

Adalah pada waktu senja tersebut, anak-anak yang berlari dalam deras hujan Kota Samarinda menunjukan kebahagiaan dibanyak stress kehidupan kota. Hujan deras dengan petir yang membersamai membuat orang tuanya mengejar mereka dan memarahi sehingga mengubah mood sang anak menjadi murung. Tapi bagi kami yang melihatnya, tertawa menjadi hal yang lumrah saat melihat wajah sang anak yang berubah.

Jelas, hal tersebut pasti beralasan. Bisa saja ada kekhawatiran orang tua jika sang anak sakit. Agaknya dulu pun kita banyak merasakan prilaku tersebut.

Tetapi itu bukan hanya sekedar anak yang bermain hujan lalu dimarahi orang tuanya. Tetapi menunjukan bahwa sistem keluarga itu masih ada. Masih melekat pada kultur masyarakat Indonesia.

Namun, hujan tidak hanya sekali terjadi ketika menyusuri lorong-lorong gang kecil di Samarinda. Semisal, ketika menyusuri Bukit Batu Putih di Jl. Suryanata, hujan juga turun ketika telah mencapai puncak bukit. Jalan becek menemani jalan turun untuk kembali ke perumahan-perumahan warga.

Saat perjalanan turun kebawah karena hujan yang turun hanya rintik sedang, kelompok susur gang yang sempat menepi sejenak pada rumah warga dan mempersilahkan. Waktu berkata lain, akhirnya kelompok susur tetap berniat melanjutkan perjalanan kebawah tanpa menepi. Dan seperti biasa masyarakat Indonesia, ucapan permisi dan terimakasih telah kerena mempersilahkan singgah terkhaturkan. Sehingga kami melanjutkan perjalanan.

Ketika menyusuri perjalan turun, pada sisi-sisi bukit nampak masyarakat yang sedang berkegiatan. Padahal waktu sudah senja dan rintikan hujan turun membasahi. Ada dua orang pria sedang bekerja, bisa dikatakan bekerjasama lah mereka disana.

Kerja manusia yang pasti ekat pada kehidupan masyarakat. Kerjasama menopang segala kisah manusia bahkan dari 70.000 tahun lalu. Ketika Homo Sapiens berpindah dari Afrika ke seluruh penjuru dunia. Tanpa kerjasama habis sudah leluhur kita dalam perjalanan pada sisi-sisi dunia baru yang mereka lalui.

Memang pada bukit tersebut walau jalan kesana curam karena tanjakan yang menukik sekali ada warga yang tinggal disana. Kehidupan disana nampak seperti Indonesia tahun 2000-an, yang biasanya diucapkan anak-anak tiktok pada kolom komentar. Dengan hal itulah masih nampak bentuk adanya kehidupan ber-masyarakat disana.

Keluarga dan Masyarakat merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia. Walau pada abad 21 ini, negara dan pasar bebas sudah berniat menggantikannya. Mengubah makna cinta dan kerjasama yang lebih dalam tentang arti keluarga dan masyarakat ucap Yuval Noah Harari.

Dengan rintik hujan pada masyarakat Mahakam terkhusus di Kota Samarinda menunjukan bahwa keluarga dan masyarakat itu masih hadir. Apalagi dengan turunnya hujan semakin mencipta syahdu dalam mata memandang kehidupan urban gang-gang di Samarinda.

Jika, adanya manusia immortal dalam artian bisa hidup abadi. Maka dalam benak saya yang menjadi bagian dalam kelompok susur gang Samarinda, kekal atau abadi dalam arti saya pada manusia hadir akan cinta yang terbangun. Akan cinta keluarga dan masyarakat. Sehingga kenangan akan cinta yang berlalu tetap kekal dalam manusia itu sendiri.

Sehingga makna nama Mahakam dalam Bahasa Sansakerta yang berarti "cinta yang besar" dapat selalu menemani cinta pada masyarakat Samarinda. Dan rintik hujannya menyegarkan udara kota dari asap kendaraan atau pabrik-pabrik yang mengelilingi kota.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun