gang-gang kecil di Samarinda dalam pelik kehidupan kota yang ramai. Maka menginjakan kaki pada lorong-lorong gang kecil di kota dengan ikon Pesut dan Sungai Mahakam ini menjadi sesuatu yang menarik.
Ketika menyusuriPada banyak kegiatan bernama "Susur Gang Samarinda" banyak cerita yang membekas dalam setiap langkah. Misalnya, hujan.
Kehidupan lorong gang, dengan pusat kota jelas nampak berbeda. Ntah secara sosiologi dan antropologi. Jika mungkin kita melipir sedikit ke pusat kota, jelas keakraban antar manusia sudah jarang nampak. Tapi pada lorong gang yang jarang terjamah kehidupan kota disanalah kemewahan itu masih ada.
Hujan yang kata Khalil Gibran merupakan "puisi langit yang jatuh ke bumi, menghapus luka, menyembuhkan jiwa, dan memberikan kehidupan baru bagi yang mati." Walau terkadang ketika hujan saat menyusuri gang harus menepi pada rumah warga dulu, keren-kerennya untuk menikmati rintiknya.
Tetapi ketika menepi tersebutlah cerita-cerita didapatkan. Cerita dari kegiatan masyarakat urban Samarinda. Karena saat hujan tiba segala aktivitas begitu saja terganti tawa anak-anak, dan asap rokok dari para tetua.
Satu ketika, saat menyusuri gang di Sungai Pinang Luar hujan deras turun dan menghapus CO2 yang bergelimang dari ramai kendaraan kota. Kelompok susur memilih untuk menepi sekejap menunggu reda, sehingga penampakan senja dengan balutan gelap awan Samarinda menemani tarhim maghrib dari masjid-masjid sekitar.
Adalah pada waktu senja tersebut, anak-anak yang berlari dalam deras hujan Kota Samarinda menunjukan kebahagiaan dibanyak stress kehidupan kota. Hujan deras dengan petir yang membersamai membuat orang tuanya mengejar mereka dan memarahi sehingga mengubah mood sang anak menjadi murung. Tapi bagi kami yang melihatnya, tertawa menjadi hal yang lumrah saat melihat wajah sang anak yang berubah.
Jelas, hal tersebut pasti beralasan. Bisa saja ada kekhawatiran orang tua jika sang anak sakit. Agaknya dulu pun kita banyak merasakan prilaku tersebut.
Tetapi itu bukan hanya sekedar anak yang bermain hujan lalu dimarahi orang tuanya. Tetapi menunjukan bahwa sistem keluarga itu masih ada. Masih melekat pada kultur masyarakat Indonesia.
Namun, hujan tidak hanya sekali terjadi ketika menyusuri lorong-lorong gang kecil di Samarinda. Semisal, ketika menyusuri Bukit Batu Putih di Jl. Suryanata, hujan juga turun ketika telah mencapai puncak bukit. Jalan becek menemani jalan turun untuk kembali ke perumahan-perumahan warga.
Saat perjalanan turun kebawah karena hujan yang turun hanya rintik sedang, kelompok susur gang yang sempat menepi sejenak pada rumah warga dan mempersilahkan. Waktu berkata lain, akhirnya kelompok susur tetap berniat melanjutkan perjalanan kebawah tanpa menepi. Dan seperti biasa masyarakat Indonesia, ucapan permisi dan terimakasih telah kerena mempersilahkan singgah terkhaturkan. Sehingga kami melanjutkan perjalanan.