Berbukti, tiap kali berada di sana, rasa-rasanya tak lebih kurang, kadarnya serasa sedang berada di kampung sendiri. Bertemu saudara sendiri. Mengingatkan saya, sebait "kalindaqdaq", pernah dimuat "Mandar Pos", ditulis budayawan Syarbin Syam.Â
Saya coba mengutipnya untuk berbalas pantun. Mane pissangi ulete turunang di kappummu, tappaq mauaq, tembaleq turunaq-u. Baru sekali itu kuinjakkan kaki di kampungmu, sesegera kunyatakan semoga ini kampung halamanku.
***
Menginjakkan kaki di Lita'na Mandar, bumi Todilaling itu, benak saya terus bertanya-tanya, tiap kali setelah melintasi Kota Wonomulyo, memasuki wilayah kampung Campalagian, terus hingga memasuki Kota Majene, entah gerangan musabab apa, selalu saja subjektifitas di batiniah saya, sontak merasakan hadirnya semacam resonansi baru, berbeda dari sebelumnya. Saya menemui semacam getaran gelombang, jika inilah Mandar sesungguhnya, dalam arti "value" peradaban.
Maafkan setingginya andai saya keliru merenggut simpul resonansi itu. Boleh jadi, akibat benak saya sangat minim paham, geopolitik pusaran kekuasaan 14 kerajaan yang bersekutu, sehingga benak saya tetap terhegomoni dari ragam pustaka, soal derasnya pertentangan di wilayah itu - terekam dalam lontara' Mandar tentang kuatnya sanksi dalam setiapkali perjanjian - sebelum I Manyambungi - Todilaling - kembali ke negerinya, sebagai hero. Penyelamat wilayah Balanipa.
Di balik kebimbangan, benak saya coba berandai-andai, jika bukan I Manyambungi, maka maha guru Tosalama' Muhammad Thahir, Imam Lapeo, adalah penanam berkah kampung, "ma'appu banua", di wilayah ex-Kerajaan Balanipa itu.Â
Pemantik air di pusaran mata angin, menarik garis pembatas kewilayahan, berharap berkah sekira penduduk negeri di dalamnya tenteram, damai dalam keberadaban. Dan karena itu, melintas di batas garis itu, resonansinya sangatlah terasa.
***
Di sini, di wilayah ex-Kerajaan Balanipa inilah, alam mempertemukan saya dengan sekian orang-orang yang kelak mewujud - tak lebih kurang dari -- saudara sendiri. Mereka adalah orang-orang yang mula saya keliru memahami.Â
Belakangan, saya sedikit tahu jika mereka lebih yaqin konteks dibanding teks. Ingin tahu yang tersirat dibanding tersurat. Mereka lebih mendalami dunia kecil secara mikrokosmos, yaitu manusia dan sifat kemanusiaan pada takaran kecil di jagat raya ini.
Akibat itulah, andai berada di wilayah ini, usah takjub jika menemui hal aneh jika ditakar secara teks. Misalnya, bagaimana bisa dimengerti jika siang hari bertemu lelaki tua keliling kampung, ia menenteng lampu petromaks yang menyala, meski matahari terang benderang.Â