Langkah demikian bukanlah keliru, sebaliknya sangat terpuji. Tapi sayang karena kita memahami bahwa mereka yang terinjak, pingsan dan bahkan meninggal dunia itu hanyalah sebatas musibah yang setiap saat bisa menimpa siapa saja. Tapi sisi lain, secara jamak kita tidak cerdas menangkapnya sebagai suatu peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Peristiwa yang sifatnya struktural. Apakah rakyat kita benar-benar miskin, ataukah telah termiskinkan.
Lantaran secara jamak kita tidak pandai menerjemahkan kejadian sebagai suatu rangkaian kejadian yang saling berkaitan dengan lain, maka kejadiannya pun berlangsung secara berulang-ulang. Kita sudah terlanjur terbiasa dari bangku sekolah melihat suatu kejadian hanya secara tekstual saja. Tidak pandai melihat bahwa orang yang terinjak dan meninggal dunia karena memperebutkan sebungkus nasi, adalah kekeliruan kita sebagai warga bangsa.
Imbas resiko dihasilkan dari ketidakcerdasan kita menerjemahkan suatu peristiwa, memberi dampak resiko paradoxal yang sudah sangat anomali. Bagaimana mungkin orang-orang dermawan yang memiliki niat baik itu untuk membagikan hartanya pada yang lain, justru sebaliknya mempertanggungjawabkan secara hukum akibat kerusuhan saat pembagian zakat. Bahkan harus menerima resiko dibuih, seperti dialami Haji Syaikon di Pasuruan.
Masih depan televisi menyaksikan kejadian seperti itu, tak sadar saya bergumam; “Bermodal niat baik saja ternyata belumlah cukup”. Bukan lagi sebatas rasa pedih, pilu dan miris menyaksikan orang-orang yang tersikut, terinjak, pingsan dan meninggal dunia, tapi juga sudah bercampur rasa --- yang tidak tau harus menyelipkan kata yang tepat --- saat menyaksikan sang dermawan yang punya niat baik justru di gelandang ke kantor polisi.
Makassar, 01 September 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H