[caption id="attachment_317503" align="aligncenter" width="560" caption="photo: Tribunnews.com"][/caption]
PENGANTAR: Sekaitan dengan tragedi tewasnya dua orang pada saat kegiatan "bagi zakat" acara Open House di rumah JK Jl. Haji Bau Makassar (29/7/2014), berikut saya rilis ulang tulisan lama saya yang berkaitan erat dengan sejumlah kejadian serupa dibeberapa tempat di tanah air.
Membaca koran lokal pagi tadi, serta lengkapnya menyaksikan melalui siaran televisi, sungguh memilukan dan menyayat hati, orang-orang berdesakan, saling dorong dan saling injak semata memenuhi harapan mendapatkan zakat. Seorang putra daerah kelahiran Tanete, Bulukumba, Sulsel, yang sukses berusaha di Papua, dengan niat ikhlas hendak membagikan hartanya pada warga di tanah kelahirannya, justru berakhir bentrok dan rusuh.
Peristiwa yang sama telah berulang kali terjadi di negeri tercinta ini. Di kediaman Haji Gafur di Kelurahan Telaga Sari, Balikpapan Selatan, Kaltim, warga yang telah antri sejak pagi untuk mendapatkan pembagian zakat uang Rp. 50.000,-, akibat tidak sabaran, puluhan warga berdesakan, saling sikut, bahkan saling injak, akibatnya sejumlah orang jatuh pingsan dan luka berat.
Kejadian paling tragis dari kasus yang sama, terjadi di kediaman Haji Syaikon, di Desa Purutrejo, Pasuruan, Jawa Timur, di bulan September 2008, saat Haji Syaikon dengan niat baik untuk beramal, membagikan zakat hartanya untuk kaum du’afa, ternyata berujung rusuh. Sebagian orang saling injak, akibatnya 21 orang meninggal dunia, 13 orang luka berat dan ringan. Sebagai penanggungjawab acara, Haji Syaikon masuk buih.
Menyaksikan kejadian memilukan semacam ini, dalam diri saya terjadi perbenturan antara fikir dan rasa. Fikiran saya berpencar pada logika yang tak selesai. Bagaimanakah mungkin peristiwa macam ini berulang kali terjadi di negeri yang selama ini kita banggakan sebagai negeri yang memiliki sumber daya alam melimpah. Sejak di bangku TK dengan bangganya kita berdiri depan kelas menyanyikan beragam lagu tentang tanah air yang makmur ini.
Sungguh sangat paradoksal, sehingga tidaklah berlebihan kalau secara terbuka kita menyimpulkan bahwa di negeri kita ini, memang telah terjadi proses tata kelola yang keliru. Negeri kita memiliki sumber daya alam melimpah, tapi kenapa rakyatnya tewas saling injak hanya karena memperebutkan sebungkus nasi. Tragis sekali, bagai ayam mati di lumbung beras.
Logika sederhananya, jika di hulu banyak persediaan air, maka tentu di muara pun akan tersimpan persediaan banyak air. Setidaknya antara ketersediaan air di hulu dan di muara, jumlahnya berimbang. Kalau kenyataan tidak seperti itu, dapat dipastikan bahwa di area saluran penghubung antara hulu dan muara telah terjadi penyumbatan. Setidaknya seperti itulah misal kita memahami kejanggalan terjadi di negeri ini.
Pada sisi lain, alur rasa saya sepertinya terlalu sulit lagi untuk dibendung dari rasa miris, pilu dan sedih. Bagaimana tidak, cobalah pula tengok saat pembagian nasi bungkus untuk buka puasa di Trenggalek, Jawa Timur, misalnya. Orang -orang berebutan mendapatkan sebungkus nasi meski harus menerika sikut dari yang lain, akibatnya sebungkus nasi yang telah diraih dari perjuangan berat, tertumpah dan tak lagi layak di makan karena terinjak.
Sebagai orang yang memiliki nurani, dan masih memiliki rasa kebersesamaan, apakah kenyataan demikian bukan suatu peristiwa memilukan dan menyayat hati. Pada saat bersamaan, coba dibandingkan ke dalam lingkungan pribadi masing-masing, bagaimana diri dan lingkungan keluarga kita misalnya, terlanjur keseringan membuang nasi tersisa lebih dari sepiring. Sementara yang lain mendapatkan hingga jatuh pingsan.
Terhadap kejadian memilukan yang berulangkali terjadi di negeri yang sama kita cintai ini, sangat disayangkan karena secara jamak kita hanya mampu memaknainya secara parsial tanpa mampu menerjemahkannya secara substansial. Kita membaca di lembaran koran, dan kita menyaksikan di layar televisi, setiap ada kejadian yang sama, empati datang silih berganti, lalu pelaksana dengan entengnya menyampaikan sesal dan prihatin.
Langkah demikian bukanlah keliru, sebaliknya sangat terpuji. Tapi sayang karena kita memahami bahwa mereka yang terinjak, pingsan dan bahkan meninggal dunia itu hanyalah sebatas musibah yang setiap saat bisa menimpa siapa saja. Tapi sisi lain, secara jamak kita tidak cerdas menangkapnya sebagai suatu peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Peristiwa yang sifatnya struktural. Apakah rakyat kita benar-benar miskin, ataukah telah termiskinkan.
Lantaran secara jamak kita tidak pandai menerjemahkan kejadian sebagai suatu rangkaian kejadian yang saling berkaitan dengan lain, maka kejadiannya pun berlangsung secara berulang-ulang. Kita sudah terlanjur terbiasa dari bangku sekolah melihat suatu kejadian hanya secara tekstual saja. Tidak pandai melihat bahwa orang yang terinjak dan meninggal dunia karena memperebutkan sebungkus nasi, adalah kekeliruan kita sebagai warga bangsa.
Imbas resiko dihasilkan dari ketidakcerdasan kita menerjemahkan suatu peristiwa, memberi dampak resiko paradoxal yang sudah sangat anomali. Bagaimana mungkin orang-orang dermawan yang memiliki niat baik itu untuk membagikan hartanya pada yang lain, justru sebaliknya mempertanggungjawabkan secara hukum akibat kerusuhan saat pembagian zakat. Bahkan harus menerima resiko dibuih, seperti dialami Haji Syaikon di Pasuruan.
Masih depan televisi menyaksikan kejadian seperti itu, tak sadar saya bergumam; “Bermodal niat baik saja ternyata belumlah cukup”. Bukan lagi sebatas rasa pedih, pilu dan miris menyaksikan orang-orang yang tersikut, terinjak, pingsan dan meninggal dunia, tapi juga sudah bercampur rasa --- yang tidak tau harus menyelipkan kata yang tepat --- saat menyaksikan sang dermawan yang punya niat baik justru di gelandang ke kantor polisi.
Makassar, 01 September 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H