Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menanti "Power" Prabowo di Laut Natuna Utara, Mampukah?

25 Mei 2024   13:11 Diperbarui: 27 Mei 2024   22:04 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Repro-desain pribadi Abdul Muis Syam

Sungguh, China benar-benar menunjukkan keangkuhan dan arogansinya sebagai negara terkuat di Asia, sehingga perselisihan beberapa negara ASEAN dengan China terhadap wilayah perairan LCS itu pun masih terus berlanjut. Dan hal ini diakui Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto selaku Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), yang mengungkapkan bahwa sengketa di Laut Cina Selatan (termasuk adanya dengan Laut Natuna Utara) sampai saat ini masih terus berlangsung dan belum menemui titik terang. Dan hal ini tentu saja menjadi ancaman terhadap kedaulatan wilayah NKRI.

Laksamana TNI (Purn.) Marsetio, sebagai Guru Besar Universitas Pertahanan sekaligus Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KASAL) 2012-2015, dalam artikel opininya di kompas.id (edisi 27 September 2022) berjudul "Tantangan Menghadapi "Gray Zone Operation" China di Laut Natuna Utara", mengungkapkan dan menekankan beberapa hal penting.

Ia mengingatkan, langkah agresif China untuk mempertahankan klaim Laut China Selatan dengan membangun kekuatan militer dan didukung kekuatan ekonomi melalui program pendanaan Inisiatif Sabuk dan Jalan (The Belt and Road Initiative/BRI), sungguh tidak dapat dianggap remeh.

Marsetio membeberkan, China tidak hanya mengirim kapal ikan dan kapal penjaga pantai, tetapi juga kapal riset dan kapal perang. Kapal perusak Kunning-172 diketahui berada di Laut Natuna Utara pada 13 September 2021, dan kapal riset Haiyang Dizhi-10 berlayar mondar-mandir di sana sepanjang Agustus-Oktober 2021.

Ia pun mengimbau, kapal-kapal negara RI harus konsisten hadir di Laut Natuna Utara sepanjang tahun untuk menjamin kedaulatan NKRI. Selain itu, Pemerintah RI juga diharapkan dapat menghadirkan dan mengerahkan kapal-kapal nelayan di Laut Natuna Utara sebagai bentuk pernyataan bahwa hak berdaulat Indonesia di ZEE Indonesia tidak terbantahkan oleh klaim negara mana pun.

Namun di balik semua ini, tentu akan memunculkan pertanyaan, bahwa sebenarnya apa yang mendorong China begitu sangat berambisi ingin memiliki sepenuhnya Laut China Selatan termasuk Laut Natuna Utara?

Dari sejumlah data yang tersebar  menyebutkan bahwa kawasan LCS diketahui menjadi salah satu pintu gerbang komersial yang krusial bagi sebagian besar industri logistik dunia, dan bahkan menjadi sub-wilayah ekonomi strategis di kawasan Indo-Pasifik.

Dilansir CFR Global Conflict Tracker yang dikutip cnbcindonesia.com, mengurai total nilai perdagangan yang melintasi kawasan ini mencapai 3,37 Triliun Dolar Amerika pada 2016. Bahkan pada 2017, perdagangan gas alam cair global yang transit melalui perairan LCS ini mencapai 40 persen dari total konsumsi dunia.

Selain itu, China begitu tergila-gila ingin menguasai Natuna sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya, karena potensi ikan di Laut Natuna ini mencapai lebih 500 ton per tahun. Dan tak hanya itu, Natuna juga diketahui memiliki kandungan kekayaan bumi berupa minyak dan gas. Yakni, cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, dan gas bumi sebesar 112.356.680 barel. Salah satunya adalah ladang gas D-Alpha yang terletak 225 Km Utara Pulau Natuna dengan total cadangan mencapai 222 Trillion Cubic Feet (TCT), serta gas hidrokarbon sekitar 46 TCT, yang kesemuanya merupakan salah satu sumber kekayaan bumi terbesar di Asia.

Ambisi dan "kegilaan" China untuk menguasai penuh Laut China Selatan, dengan salah satunya memasukkan Laut Natuna Utara ke dalam peta terbaru mereka, membuat sejumlah pihak dari berbagai organisasi dan kalangan pun terpanggil melakukan kampanye penegakan kedaulatan NKRI sebagai harga mati. Yakni di antaranya datang dari ISDS (Indonesia Strategic and Defence Studies), yang secara terbuka menggaungkan adanya ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia. "Ancaman kedaulatan ini nyata dan perlu disadari oleh segenap masyarakat Indonesia," demikian penggalan kalimat yang tertulis di situs ISDS.

Selanjutnya, dengan mengetahui semua hal yang mendasar terhadap permasalahan terkait Laut China Selatan selama ini, maka apakah Prabowo Subianto setelah dilantik sebagai Presiden RI dapat segera bergegas turun tangan untuk mengatasi ancaman kedaulatan wilayah NKRI di Laut Natuna Utara tersebut? Ataukah Prabowo nantinya justru akan lebih cenderung mengesampingkan klaim China tersebut karena terkenal memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang lebih kuat itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun