Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

20 Tahun MK: Jangan Pernah Jadi "Mahkamah Konspirasi", Ingatlah Sejarah!

21 Juli 2023   02:06 Diperbarui: 21 Juli 2023   02:07 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MEGAWATI Soekarnoputri menjadi kepala negara pertama di dunia pada abad ke-21, yang mampu "melahirkan" sebuah lembaga tinggi negara bernama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), yakni pada 13 Agustus 2003, atau empat hari sebelum Hari Ulang Tahun (HUT) ke-58 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Di eranya, Presiden kelima RI itu sekaligus mencatatkan Indonesia di dunia sebagai negara ke-78 yang resmi membentuk Mahkamah Konstitusi (MK), yang didahului dengan proses pembahasan panjang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hingga akhirnya, RUU itu pun disepakati dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR, pada Rabu 13 Agustus 2003.

Dan sebagai bentuk keseriusan yang besar tentang pentingnya meninggikan kualitas ketatanegaraan RI, Presiden Megawati Soekarnoputri pada hari itu juga, langsung menandatangani undang-undang tersebut dengan nama Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Lahirnya MK tentu bukan hal yang gampang dan tidaklah serta merta dapat diwujudkan. Jika menengok waktu jauh ke belakang, diketahui ada ide pertama yang tercetus dari Muhammad Yamin dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, di Gedung Pancasila yang dahulu bernama Tyuoo Sangi-In,  di Jalan Hertogspark (kini Jalan Taman Pejambon) Nomor 6, Jakarta Pusat.

Kala itu, di dalam sidang BPUPKI yang digelar secara maraton dua kali sidang dari tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945 dengan agenda utama membahas dasar negara dan bentuk negara, Muhammad Yamin mengusulkan agar Mahkamah Agung (ketika itu bernama Balai Agung), sebaiknya diberi wewenang judicial review (membanding undang-undang atau pengujian yudisial) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Namun Soepomo selaku salah seorang anggota Sidang BPUPKI kala itu menyatakan menolak usulan Muhammad Yamin.

Selain karena Indonesia (ketika itu) belum memiliki pakar hukum yang berpengalaman dalam menangani pengujian undang-undang terhadap UUD, Soepomo juga mengemukakan sejumlah alasan lain. Yakni pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power), melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang; dan ketiga, hakim tak bisa diberi kewenangan melakukan pengujian undang-undang karena bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sehingga ide Muhammad Yamin itu pun gagal  dimasukkan dalam UUD 1945.

Meski usulannya mendapat penolakan, namun cetusan ide Muhammad Yamin tersebut seolah "terembriogenesis" dari masa ke masa, bahkan makin menguat. Hingga pada akhirnya, usulan Muhammad Yamin itu pun mendapat momentum tepat melalui perubahan (amendemen) Undang-Undang Dasar 1945 di era Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Dari situ, pemerintah bersama DPR pun membahas lalu mengesahkan UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagai "tanda" lahirnya salah satu organ baru atau lembaga tinggi negara, bernama Mahkamah Konstitusi (MK).

Dari sekelumit untaian sejarah lahirnya MK itu, tersirat dengan jelas adanya cita-cita luhur nan tulus dari negarawan yang terlibat langsung mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam melahirkan MK. Yakni, cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat yang harus dijalankan dengan undang-undang yang berpihak kepada kepentingan dan kemajuan bangsa ini, terutama tidak menabrak hak-hak asasi manusia dengan memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara, serta menjadi pelindung demokrasi. Olehnya itu, sejarah dan cita-cita yang melandasi lahirnya MK ini jangan sampai terlupakan, apalagi untuk dikhianati.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sambutannya saat membuka secara resmi Kongres ke-5 "The World Conference on Constitutional Justice (WCCJ)" atau Konferensi Badan Peradilan Konstitusi Sedunia, pada Rabu malam (5/10/2022) di Nusa Dua, Bali, bahkan menegaskan sejumlah hal penting di hadapan peserta yang berasal dari 95 negara dan 4 organisasi.

Ia menyebutkan, MKRI merupakan pilar utama dalam menegakkan constitutional justice yang merupakan elemen kunci dari demokrasi perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum.

Pada kesempatan yang sama, Anwar Usman sebagai Ketua MKRI juga menyampaikan pentingnya norma konstitusi yang telah menjadi norma dasar bernegara untuk harus dipatuhi dan dilaksanakan. Jika tidak, maka norma konstitusi tersebut hanya akan indah di atas kertas. "Dan jika norma konstitusi tidak dipatuhi dan dilaksanakan, maka, sesungguhnya telah terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai konstitusi," ujar Anwar Usman, dilansir mkri.id.

Ada sebuah makna yang tersirat dari pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dan juga Ketua MKRI Anwar Usman. Yakni, keduanya sama-sama mengajak semua pihak agar tetap serius mendukung dengan penuh kesadaran seluruh peran MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Terlebih pada 13 Agustus 2023, MK tepat memasuki usia 20 tahun, hendaknya dijadikan sebagai momentum bagi semua pihak secara umum untuk kembali mengingat sejarah paling awal munculnya "embrio" pembentukan MK serta cita-cita yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, HUT ke-20 MK tahun ini, juga hendaknya bisa dijadikan kesempatan untuk mengingatkan dan memotivasi para Hakim MK agar berupaya maksimal menjadi "malaikat" pelindung dan penjaga konstitusi (the guardian of constitution), bukan malah menjadi "iblis" yang justru akan membuat MK menjadi "Mahkamah Konspirasi" yang melakukan persekongkolan dalam "memperjualbelikan" konstitusi.

Olehnya itu, para Hakim MK dengan "body" kewenangan super jumbo yang diberikan oleh negara sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2), harus dapat ditunaikan sebaik-baiknya tanpa pamrih, yakni: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, saat ini kewenangan MK memutus perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang kini permanen tidak lagi transisional.

Eksistensi sembilan Hakim MK sebagai hasil rekrutmen dan pengajuan dari Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Presiden dengan masing-masing tiga orang, sudah pasti amat diharapkan tidak sekali-kali mencoba menggunakan jubah kebesarannya untuk melakukan tindakan tercela, seperti praktik-praktik korupsi melalui sebuah konspirasi (persekongkolan) terselubung, terutama dengan pihak-pihak yang berperkara dari golongan "kapitalis" atau bahkan dengan rezim yang berkuasa.

Ingatlah! kehancuran negara ini juga (cukup) bisa dimulai dari MK. Dan sebaliknya, negara ini dipastikan sangat kuat dan maju berkembang pesat apabila MK mampu menjalankan perannya secara tegak lurus dengan melaksanakan Sapta Karsa Hutama sebagai kode Etik dan perilaku Hakim Konstitusi, sebagaimana dituangkan dalam Peraturan MKRI Nomor: 09/PMK/2006 yang meliputi 7 prinsip, yakni: Prinsip Independensi, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, Prinsip Kesetaraan, Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan, serta Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan.

Karena itu pula, para Hakim MK sangat diharapkan agar jangan sampai menjerumuskan diri dalam berbagai praktik atau tindakan yang menjurus ke pengkhianatan terhadap konstitusi, serta juga jangan pernah tergiur untuk melakukan perbuatan yang mengarah kepada bentuk konspirasi kejahatan terhadap konstitusi.

Sungguh banyak godaan besar yang setiap saat dapat "menghinggapi" para Hakim MK untuk melakukan konspirasi jahat. Yakni seperti yang dikemukakan oleh seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Suparman Marzuki, dalam artikelnya yang pernah diterbitkan dalam versi cetak dan juga online pada rubrik Opini di Harian Kompas (edisi 24 Januari 2018) dengan judul: "Sudah Dua Kali, Lalu Bagaimana?"

Suparman menuliskan, ada banyak ragam ujian integritas hakim. Misalnya, suap untuk memainkan perkara, menyembunyikan konflik kepentingan dalam penanganan perkara, dan menegosiasikan kasus secara diam-diam atau terbuka untuk kepentingan mendapatkan jabatan kembali di masa depan. Ada juga menjual pengaruh, menyalahgunakan kedudukan dan jabatan untuk kepentingan pribadi, menceritakan perkara yang sedang ditangani kepada orang yang menjadi pihak dalam sengketa, mengeluarkan kata-kata tidak patut, dan sebagainya.

"Ujian-ujian kepercayaan telah terjadi dan menimpa hakim-hakim MK terdahulu. Ada yang lolos ujian dan husnul khatimah dalam jabatan, ada yang gagal. Yang pertama terjadi pada 2011, diuji dengan permainan perkara dan gagal lalu mundur sebagai hakim MK. Ujian kedua lebih berat dan memalukan, menimpa Ketua MK Akil Mochtar: terkena operasi tangkap tangan KPK lalu dipecat dan dipenjara. Ujian ketiga menimpa Patrialis Akbar yang juga kena OTT KPK, mundur dan berakhir di penjara," demikian Suparman dalam artikelnya itu.

Peringatan, masukan dan juga harapan-harapan kepada MK seperti tersebut di atas, tentunya sangat patut senantiasa diingatkan secara tegas. Terlebih dengan usia MK yang sebentar lagi menginjak dua dekade, ibarat manusia di usia 20 tahun bukan lagi "anak ingusan" yang gampang diajak bermain "petak-umpet", dan dibujuk dengan permen karet sambil memainkan "latto-latto" yang berbunyi nyaring tetapi tak bertaring.

MK saat ini sudah menjalani masa "dewasa". Dan selama 19 tahun menurut data 2022 yang ada, MK telah mampu memperlihatkan kinerja dengan status atau predikat "berhasil" dan juga "sangat berhasil". Yakni, di antaranya pada sasaran strategis meningkatnya mutu putusan dan penanganan perkara mencapai skor signifikan 146,19% atau melampaui target yang dipatok.

Dan sejauh ini, MK tercatat telah menerima 3.463 perkara. Yaitu, meliputi Pengujian Undang Undang (PUU) 1.622 perkara, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) 29 perkara, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 676 perkara, dan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) 1.136 perkara.

Sejak terbentuknya hingga akhir 2022, MK telah memutus 3.444 perkara dan 19 perkara masih dalam proses pemeriksaan. Namun khusus tahun 2022, MK menangani 147 perkara, yakni 143 perkara PUU dan 4 perkara PHP Kada. Dan dari 147 perkara tersebut, MK telah memutus 124 perkara PUU, dan 4 perkara PHP Kada.

Dengan usianya yang memasuki 20 tahun pada 13 Agustus 2023, MKRI harus bertekad untuk bisa tetap menjadi "Garuda Konstitusi" di hadapan seluruh pihak yang berperkara, termasuk lembaga tinggi negara sekalipun. Dan jangan pernah mau "sewaktu-waktu" dibujuk untuk menjelma menjadi "merpati jinak" yang mudah tergiur hanya dengan sebiji jagung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun