Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Istriku Gamar, Pulanglah Sayang!

27 Maret 2016   17:42 Diperbarui: 31 Maret 2016   12:19 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Desain Foto: Abdul Muis Syam)

#SuratTerbukaBuat_Istriku

DUHAI... istriku yang kucintai, Gamar Alhasni,
aku memang telah mengusirmu, tetapi bukan berarti sebagai istri engkau benar-benar harus pergi. Aku mengusirmu, sebab engkau yang sering murka kepada anak-anak ketika keluar rumah tanpa izin, tetapi malah itu terjadi padamu.

Yaa... di petang itu (Jumat, 18/3/2016),
engkau pergi (keluar) rumah hingga usai Magrib tanpa sepengetahuanku, padahal dirimu tahu aku suamimu belum tidur juga belum makan, karena sedang bekerja dari gelap hingga gelap berikutnya di dalam rumah kita.

Bahkan di saat kalian tertidur dan ngorok bergelimang mimpi, mungkin juga dengan liur, aku malah harus memeras mata, otak, dan keringatku untuk menyusun huruf demi huruf sebagai penulis pejuang, semua itu bukan hanya untuk kita, tetapi untuk kebaikan bangsa ini jua.

Dan meski mata ini makin sipit, juga tubuh ini kian kurus serta menipis, namun aku tak meminta apa-apa darimu wahai istriku tersayang. Aku hanya ingin kita berbagi tugas dan kewajiban, seperti aku yang tak pernah lalai memenuhi nafkah lahir dan bathin buatmu, juga anak-anak.

Lalu nikmat Tuhan yang manakah kamu dustakan?

Namun... di petang itu,
engkau tahu anak-anak kita sangat butuh sentuhan dan belaian darimu sebagai ibu, namun engkau lagi-lagi malah menghardik si Bungsu ketika sulit disuruh mandi, hingga engkau membiarkannya menangis tersedu-sedu.

Juga... di petang itu,
engkau tahu si Sulung sedang demam tinggi, namun ketika kuperintahkan untuk memberinya obat, engkau malah asyik mengobrol dengan tetangga hingga usai magrib tanpa sepengetahuanku.

Sehingga.. di sore itupun,
aku yang sedang berpacu dengan waktu agar bisa menyelesaikan pekerjaanku, malah jadi molor dan kerap harus tertunda karena lagi-lagi harus memandikan si Bungsu dan memberikan obat buat si Sulung, lalu menyiram kopi sendiri.

Dengan situasi yang berulang-ulang seperti itu, haruskah aku diam???

Wahai... istriku yang amat kucintai, Gamar Alhasni,
aku bukan tipe suami yang gemar membisu dan hanya bungkam ketika tahu engkau sebagai istri yang aku sayangi melakukan kesalahan, sampai itu aku jadi penulis yang sangat kritis demi memperbaiki setiap kesalahan.

Tetapi, aku yang begitu tegas dan kritis bukan berarti tidak doyan humor.
Sayangku.. engkau sangat tahu, bahwa sepanjang hari tak mengenal siang-malam ulahku kerap kusengaja menyerupai orang super tolol hanya demi membuatmu tertawa, dan memang perutmu tak pernah bisa menahan tawa.

Lalu nikmat Tuhan yang manakah kamu dustakan?

Duhai.. Gamar Alhasni istriku terkasih, dengarlah,
sungguh aku ingin membuatmu terhormat di mata orang banyak, dan bahkan menjadi istri mulia di hadapan Tuhan. Sampai itu aku tak ingin diam ketika engkau melakukan kesalahan-kesalahan, sebab engkau adalah istriku sekaligus tanggungjawabku di akhirat nanti.

Dan sayangku, engkau pun sangat tahu itu, bahwa setiap engkau berbuat kesalahan, pasti aku bertindak,
mulai secara lembut, tegas hingga keras meninggi (menggertak), semuanya adalah demi kebaikanmu, terutama kebaikan rumah tangga kita.

Sayangnya.., dan betapa ku sangat bersedih, sebab meski dirimu di Jumat petang itu sadar lagi-lagi melakukan kesalahan, namun sedikitpun engkau tak memohon maaf saat kulontarkan nasehat-nasehat ketegasan, malah engkau meladeniku seolah-olah tak melakukan kesalahan.

Sayangku... ketahuilah, karena di Jumat petang itu dirimu tetap tak tergerak untuk meminta maaf, maka terpaksa akupun meninggikan ketegasanku, mengusirmu!
Dan jujur aku memang mengusirmu, namun di saat bersamaan aku menunggu permohonan maafmu. Tetapi itu sama sekali tidak engkau lakukan. Malah benar-benar berkemas lalu pergi.

Dan yang membuatku bertambah sedih, adalah ketika engkau sampaikan kepada orang-orang, bahwa akulah yang mengantar tas kopermu hingga ke atas bentor, engkau juga membeberkan bahwa aku telah melontarkan kata cerai. Bahkan engkau katakan bahwa ini karena aku ingin kawin lagi.
Sayangku.., betapa teganya dirimu memfitnah diriku seperti itu.

Gamar Alhasni cintaku..., dengan fitnah seperti yang engkau beberkan itu, betapa buruknya kini diriku di matamu dan di hadapan orang lain, tapi pasti tidak di mata Tuhan.

Tas koper itu memang aku yang angkat,
namun hanya sampai tepat di pagar rumah bagian dalam, sebab di titik itu aku masih menunggu kata maaf darimu. Namun ternyata, engkau baru bisa berkata maaf ketika pamitan, dan minta mencium tanganku, yakni di saat koper telah diangkat oleh pengemudi bentor.

Sayangku Gamar Alhasni yang amat kucintai,
sungguh keliru dan betapa tega dirimu mengambil cara dan timing untuk memohon maaf dan mencium tanganku di saat seperti itu. Dan karena fitnah yang kau munculkan itu, membuat diriku tak mendapatkan pembelaan dari pihakmu.

Dan mengenai ingin kawin lagi,
bukankah engkau sendiri yang menawarkan kepadaku tentang hal itu?
Juga apakah diriku telah banyak berada di luar rumah dan meninggalkan kesibukanku untuk ketemu dengan wanita-wanita lain?
Sungguh.. dan betapa dirimu telah sangat berlebihan menyudutkanku.

Duhai istriku sayang..., sadarkah bahwa apa yang engkau lakukan saat ini telah mendzolimi diriku? Bahkan juga telah menyakiti kembali ibumu?

Ayo sayangku..., jelaskan mengapa engkau begitu tega dan ngotot ingin menghabisi nyawa cinta kita?
Beginikah bentuk kepatuhanmu kepada diriku sebagai suami yang menikahimu atas nama Allah?

Sebesar gunung manakah kesalahan dan dosaku kepadamu?
tunjukkanlah, pasti gunung itu akan aku daki, asalkan engkau jangan pergi dan menghilang dari sisiku!

Seluas lautan manakah keburukan dan kekuranganku hingga begitu tega meninggalkanku?
Tunjukkanlah, pasti lautan itu akan kuseberangi, asalkan kumohon jangan membunuh cintaku kepadamu hanya dengan alasan karena telah mengusirmu.

Sayangku Gamar Alhasni yang sangat aku cintai,
sungguh dikau benar-benar hanya menelan mentah-mentah istilah “mengusir”.
Cobalah tunjukkan kepadaku, kerugian besar seperti apakah yang engkau dapatkan dan dilaknati Allah bila tetap bertahan ketika diriku (suamimu) mengusirmu?
Dan tolong tunjukkan kepadaku, keuntungan sebesar seperti apa yang diridhoi Allah yang bisa engkau dapatkan apabila pergi meninggalkanku ketika aku usir?

Wahai istriku Gamar Alhasni yang sangat-sangat kusayangi,
Andai mungkin aku adalah suami yang gemar mabuk-mabukan, narkoba, dan juga berjudi, yang keluyuran tiap malam dan pulang pagi kehabisan duit lalu memaksamu untuk mencuri, dan ketika tak bisa engkau penuhi kehendakku itu kemudian aku mengusirmu, maka silakan pergi... pergi.. dan pergilah sejauh mungkin tinggalkan diriku!!!

Gamar Alhasni istriku tercinta...,
Meski engkau telah memfitnahku, dan memperlakukanku seolah-olah sebagai suami yang gemar mabuk-mabukan, pemakai narkoba, dan tukang judi seperti di atas, hingga engkau tega meninggalkanku, toh aku tetap sangat mencintaimu, juga menyayangimu seumur hidupku.

Sayangku..., meski kini dirimu entah berada di mana, namun engkau masih sah milikku dan hingga seterusnya satu-satunya istriku yang kucintai.
Dan camkanlah, aku tak mungkin menceraikanmu hanya karena persoalan sepele seperti ini. Sebab, aku bukan suami bodoh atau idiot yang tidak paham tentang sebuah lika-liku dan tanggungjawab sebagai suami.

Olehnya itu duhai istriku dan belahan jiwaku, Gamar Alhasni,
mohon pulanglah dan kembalilah kepadaku, sebab sudah 9 hari atau 12.960 menit engkau tak bersamaku. Dan kalau cuma keegoisan yang membuat sampai harus seperti ini, maka biarkan aku yang mengalah, jika perlu aku sebagai suami yang akan bersujud di hadapanmu asalkan jangan cabut nyawa cinta kita.
Dan yang paling penting,mohon jangan biarkan angka menit itu bertambah terus menjadi timbangan keburukan kita di akhirat.

I Love Igo istriku sayang, papa menunggumu, pulanglah! Maafkan papa, karena masa depan cerah ini tak lengkap tanpa kehadiranmu di sisiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun