Mahfud menuturkan, kesalahan fatal yang dilakukan Sudirman Said dalam kapasitasnya selaku Menteri ESDM adalah saat merespons surat PT Freeport Indonesia pada 7 Oktober 2015, yang isinya akan langsung memperpanjang kontrak PT Freeport begitu Undang-Undang Mineral dan Batubara direvisi.
"Artinya apa? Itu dia sudah menjamin akan merevisi dan revisinya pasti memperpanjang. Padahal kalau dia bener, kalaupun harus kirim surat karena sopan santun harusnya mengatakan akan diperpanjang kalau nanti Undang-Undangnya memungkinkan untuk itu. Ini kan langsung menjamin. Selain melanggar hukum, juga melanggar etika pemerintahan," ujar Mahfud.
Bahkan dalam akun twitternya, @mohmahfudmd, Selasa (8/12), Mahfud menuliskan, “Dalam ribut2 freeport ini bisa saja peran SS lebih destruktif daripada novanto. Oleh karena itu novanto harus ditindak tegas. SS pun harus segera diproses.”
Jika mau jujur, statemen Mahfud MD tersebut memang tak keliru. Sebab, kalau mau jujur, Setya Novanto diberi sanksi padahal masih sebatas ungkapan (kalimat dalam rekaman), sementara Sudirman Said saat ini sudah sangat jelas banyak melakukan pelanggaran atas undang-undang yang berlaku.
Dan demikianlah sekelumit gambaran tentang Sudirman Said. Sekaligus gambaran itu pula yang sudah sangat diketahui jauh-jauh sebelumnya oleh Menko Rizal Ramli. Sehingga itu, sebagai rakyat Indonesia kita seharusnya merasa sangat beruntung karena masih ada sosok seperti Rizal Ramli di dalam Pemerintahan. Jika tidak, maka bisa diyakini kelompok mafia yang bercokol dalam pemerintahan bersama asing pasti sangatlah mudah dan leluasa menyedot seluruh kekayaan alam negeri kita, termasuk di Blok Masela.
Dan hingga kini pun tarik-menarik penentuan lokasi (di darat atau di laut) pembangunan Kilang Gas Blok Masela masih terus berlangsung, dan tentu saja ini tak bisa dipandang sepele. Sebab, meski penentuannya akan diputuskan pada tahun 2018, namun hal ini harus bisa segera dimatangkan sejak dini agar bila tiba waktunya kita benar-benar sudah siap dan tak lagi kelabakan.
Pun rakyat, terutama masyarakat Maluku harus bisa terlibat dan dilibatkan, tidak hanya dalam penentuannya tetapi juga dalam proses pengelolaannya di kemudian. Jika tidak, maka bisa dipastikan kita akan kembali kecolongan seperti yang dialami saudara kita di Papua, Freeport. Di mana kekayaan Indonesia di sana benar-benar menjadi “daging santapan lezat” buat kelompok tertentu (terutama asing), sementara “tulangnya” pun sangat sulit dinikmati oleh rakyat Papua sendiri. Sungguh memilukan?!?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H