Sebab, rata-rata petani yang memiliki dan bekerja di atas luas lahan sempit itu adalah petani yang benar-benar miskin. Saking miskinnya, jumlah petani macam ini mengalami penurunan yang sangat drastis. Yakni berdasarkan data BPS, jumlah RTUP yang memiliki dan bekerja di atas lahan kurang dari 1000 m2 ini pada tahun 2003 berjumlah 9.380.300 rumah tangga, namun kemudian berkurang di tahun 2013 menjadi 4.338.847. Bisa ditebak, alasan utamanya adalah karena mereka merasa “tak dapat bertahan” hidup jika terus-terusan mengandalkan penghasilan dari usaha pertanian di atas lahan kurang dari 1000 m2 tersebut.
Jadi, jika dicermati secara saksama tabel 2 daftar gaji petani di atas, maka perhitungannya nampak sudah cukup adil. Misalnya, petani padi sawah di lahan kurang 1000 m2 hingga 2.000 m2 hasil panen pertanian yang bisa dicapai yakni hanya sekitar 500 kilogram. Artinya, dengan hasil sebesar itu, petani tersebut hanya mendapatkan tunjangan 25% setiap sekitar 3 bulan (masa panen) dari gajinya perbulan.
Begitupun dengan petani yang memiliki dan bekerja di atas lahan yang luas, misalnya 2 hektar hingga 3 hektar, yang bisa tiap 3 bulan sekali mendapat tunjangan 75% dari gajinya karena memiliki potensi hasil panen yang lebih banyak pula. Sehingga petani golongan A, B, C, dan D rata-rata akan mendapatkan penghasilan (gaji + tunjangan) dalam 3 bulan sekali adalah “beda-beda tipis”, yakni kisaran Rp. 1.000.000.
Jika berdasar pada tabel 2 daftar gaji tersebut, maka pemerintah akan menyiapkan anggaran setiap bulan sebesar sekitar:
1. Untuk Golongan A = Rp.3,2.. Triliun,
2. Untuk Golongan B = Rp.6,1.. Triliun,
3. Untuk Golongan C = Rp.4,5.. Triliun, dan
4. Untuk Golongan D = Rp.1,6.. Triliun.
►►Jumlah = Rp.15,5.. Triliun per bulan. Angka ini dikali 12 bulan, menjadi total Rp.187,1 Triliun. (Untuk lebih jelas lihat tabel 3)
Sehingganya, total anggaran setahun yang harus disediakan oleh pemerintah untuk memberi gaji ditambah tunjangan para petani adalah (Jumlah periodik 1 tahun + Total Tunjangan setahun) = Rp.187,1 Triliun + Rp.5,2 Triliun = Rp. 192,3 Triliun. Dan untuk teknis pembayarannya tidak perlu diserahkan penanganannya kepada dinas pertanian atau perikanan, cukup langsung melibatkan kepala desa atau lurah masing-masing.
Namun semua yang menjadi penjelasan dan gambaran ide dari saya ini hanyalah sebatas saran dan masukan buat pemerintahan Presiden Jokowi. Selain karena saya pernah “melakoni diri sebagai petani” sejak kecil, juga karena memang faktanya hidup para petani dan nelayan hingga detik ini rata-rata masih sangat miskin. Padahal, merekalah yang telah banyak memeras dan menumpahkan keringatnya demi “menyambung” hidup kita semuanya.
Olehnya itu pemerintah hendaknya tak usah kuatir, apalagi takut kehabisan anggaran (kalau perlu demi kesejahteraan petani dan ketahanan pangan yang lebih kokoh, pemerintah jangan ragu-ragu mengutang ke luar negeri) guna mengalokasikan anggaran untuk memberi gaji kepada petani-petani kita. Dan sungguh bisa diyakini, para petani akan sangat lebih bergairah lagi dalam memacu kinerja atau produktivitas pertaniannya hingga mencapai berkali-kali lipat dibanding besaran gaji yang mereka terima.
Pun pemerintah jangan pernah cemas dengan anggaran untuk gaji para petani tersebut, sebab mereka (para petani) tidak akan pernah melakukan korupsi seperti yang lazim digemari di lingkungan pemerintahan oleh oknum-oknum PNS.
Malah dengan menggaji para petani juga para nelayan, tentu akan semakin memudahkan Indonesia menjadi negara yang benar-benar hebat dalam kemandirian ekonominya, yakni melalui kekuatan seluruh petani dalam memperkokoh Indonesia sebagai negeri Agraris, tentu saja bersamaan dengan langkah kebangkitan seluruh anak bangsa dalam menancapkan kembali tonggak kejayaan Indonesia sebagai negara Maritim yang tangguh. Lalu, tunggu apa lagi...?!?!? Ayo segera Think and act out of the box....! Sekarang!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H