Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Teriris Hatiku Mengetahui Kasus Bank Century

27 November 2013   04:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:38 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi, esoknya terjadi pergantian pimpinan cabang Bank Muamalat di daerah saya, Gorontalo. Dan saya merasa perlu untuk melakukan silaturahmi kepada pimpinan baru tersebut pada keesokan harinya. Tetapi, sungguh di luar dugaan, pimpinan yang baru itu menolak proses permohonan saya, dan dengan angkuhnya mengatakan: “…maaf, kalau Bapak bukan nasabah (tabungan) kami, maka saya pastikan proses ini tidak akan bisa direalisasikan…”.

Mendengar itu, saya tak mau berdebat, saya lebih memilih untuk mengalah dan bergegas untuk mengembalikan urusan ini kepada Yang Maha Pemberi Kesuksesan. Seperti biasa, saya hanya berceloteh dan menyayangkan proses awal sebelum survei lokasi, yakni mengapa pihak Bank Muamalat tak mengatakan memang sejak awal jika ada syarat yang mengharuskan pemohon adalah hanya berasal dari nasabahnya.

Secara lembaga memang saya tidak tercatat sebagai nasabah (tabungan) Bank Muamalat. Tetapi secara moral saya adalah “nasabah” atau bagian dari simbol kental yang menjadi nuansa di Bank Muamalat tersebut, yakni nuansa Islam.

Tetapi tak mengapalah, itu hak mereka. Sehingga penolakan-penolakan dari bank tak jadi soal buat saya. Lagian saya selalu berprasangka baik dan positif kepada Tuhan, dengan merasa yakin bahwa di balik semua itu tentu ada rencana Tuhan yang lebih baik untukku.

Oh..iya, usaha yang kugeluti itu adalah penerbitan media cetak bulanan. Dan sekadar diketahui, embrio usaha ini lahir sejak awal dari perjalanan hidupku sebagai seorang freelance (tahun 1992-1994), lalu bergabung sebagai seorang jurnalis di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup tahun 1994-2000). Tahun 2000 saya mengundurkan diri dari harian terkemuka di Makassar itu karena tuntutan hati untuk bisa segera mandiri.

Upaya mandiri itu sebetulnya sudah saya lakukan di tahun 1998 sebagai awal perjuangan memasuki dunia usaha Penerbitan Media Cetak milik sendiri. Entah mengapa keinginan saya begitu sangat besar untuk menjadi seorang pengusaha penerbitan media cetak. Padahal dari segi ukuran kemampuan modal secara finansial saya nol besar. Berharap dari orangtua tidak mungkin, karena saya tahu, ayah saya hanya seorang pensiunan PNS golongan rendahan, ibu saya juga hanya seorang penyemangat dalam rumah tangga untuk ayah dan anak-anaknya.

Tetapi saya tetap saja berapi-api untuk ingin melalui hidup sebagai seorang pengusaha penerbitan media cetak. Sehingga kemudian harapan itu benar-benar kuperjuangkan dan kulakukan di tahun 1998.

Dan sejak tahun itu (hingga saat ini), saya tak pernah mendapat sokongan modal usaha sepeser pun dari bank atau dari lembaga-lembaga keuangan lainnya, apalagi dari pemerintah. Sehingga inilah alasan, mengapa hati saya merasa sangat teriris ketika  mengetahui “pemerintah” dengan sangat… sangat MUDAHNYA menggelontorkan dana triliunan rupiah kepada “bank kecil” seperti Bank Century, mengapa bukan pengusaha “kecil” seperti saya ini dan kepada mereka (rakyat kecil) yang juga punya potensi besar untuk menjadi sukses. Ini pula sekaligus yang menjawab tentang mengapa saya sangat “membenci” pemerintah saat ini.

Tetapi kebencian saya ini bukanlah sebuah dendam. Karena hati saya selalu mulia dan tulus demi menghidupi keluargaku melalui jerih-payah dan dari tetesan keringatku sendiri meski tanpa bantuan modal dari bank.

Satu-satunya fasilitas sebagai penopang operasional “start” awal menjalankan usaha saya adalah hanyalah satu unit komputer bekas, atau setara Rp. 750 ribu. Tetapi dari komputer “jadul” itulah saya bisa berkreasi dan menata helai demi helai lembaran media cetak dengan harapan kelak saya bisa mendapatkan modal usaha yang besar untuk meraih sukses besar pula.

Salah satu dasar pemikiran yang menjadi motivasi saya untuk mendapatkan modal usaha dari bank adalah, bahwa tanpa bantuan modal dari bank saja, toh..selama ini saya masih mampu menjalankan usaha penerbitan ini, apalagi seandainya diberi bantuan, maka tentu akan lebih dahsyat lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun