Dahulu dalam hitung-hitungan saya, pasangan Mega-Prabowo sangat sulit memenangkan Pilpres 2009. Begitu pun dengan JK-Wiranto. Meski kedua sosok “soldier” ini (Prabowo dan Wiranto) berasal dari partai masing-masing (sebagai kader), namun sangat sulit bagi keduanya untuk meraih suara terbanyak.
Sebab, ada sosok “soldier” lain yang maju bukan sebagai Cawapres, tetapi sebagai Capres. Artinya, bagi kalangan keluarga besar militer (TNI/Polri) ada kecenderungan besar sebagai bentuk “solidaritas” untuk tentunya akan lebih memilih sosok “soldier” yang maju sebagai Capres daripada yang hanya maju sebagai Cawapres. Dan hitungan ini belum termasuk pemilih yang tidak simpati kepada kedua sosok Cawapres tersebut. Sehingganya, jangan heran mengapa pasangan SBY-Boediono mendulang banyak suara hingga 60,80% pada Pilpres 2009 silam tersebut. Padahal Boediono bukanlah berasal dari kader partai mana pun.
Dan hal inilah salah satunya yang sangat patut dicermati oleh PDIP dalam menentukan Cawapres 2014.
Namun apabila PDIP tetap ngotot, misalnya, nekat mengambil dan memilih sosok Cawapres yang berasal dari kalangan militer, maka hitung-hitungan saya pada 2009 akan kembali terjadi pada Pilpres 2014 ini. Yakni, Prabowo sebagai Capres akan lebih berpotensi meraup suara terbanyak dari kalangan keluarga besar militer, apalagi jika Prabowo akan berpasangan dengan seorang yang paham dengan pengelolaan perekonomian negara, maka tentu itu akan menambah berpeluang Prabowo terpilih sebagai presiden.
PDIP dalam menghadapi Pilpres 2014 kali ini, hendaknya tak perlu kuatir atau cemas terhadap suara yang berasal dari kalangan keluarga besar TNI/Polri akan sulit dirangkul apabila tidak menjadikan sosok Militer sebagai Cawapres. Pandangan seperti ini justru sangat keliru, sebab telah diujicoba pada Pilpres 2009, namun hasilnya sangat jauh meleset.
Ada hal lain selain suara dari kalangan keluarga besar militer yang juga harus dipikirkan oleh PDIP. Yakni bagaimana "membujuk" dan meyakinkan kaum Golput yang jumlahnya sangat tinggi itu agar bisa tertarik dan terpanggil untuk bersimpati kepada PDIP. Caranya, tentu saja harus benar cermat memunculkan pasangan calon yang tepat sesuai kebutuhan wong cilik saat ini.
Selanjutnya, PDIP juga sebaiknya tidak memilih sosok Cawapres yang berasal dari kalangan “trader” atau pedagang ( pengusaha). Apalagi usia pedagang tersebut sudah sepuh alias “older”. Sebab ini nantinya sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan yang dinilai akan mengalami ketidakselarasan dan disorientasi dalam menata ekonomi bangsa: “yang satu berpikir untuk wong cilik, namun yang satunya berotak pedagang untuk kepentingan kelompok bisnisnya”.
PDIP saat ini sebelum menetapkan Cawapres seharusnya belajar dari “pengalaman mulus” SBY pada Pilpres 2009 yang mampu memenangkan satu putaran setelah “berpisah dari sang pedagang atau sang istri tuanya” itu sebagai pasangan pada periode pertamanya. Yakni dengan cermat memilih Boediono sebagai Cawapres.
Padahal sekali lagi, Boediono ketika dipilih sebagai Cawapres berusia 66 tahun (lebih mudah setahun dari pendahulunya) itu bukanlah sosok yang berasal dari kalangan militer, trader, apalagi dari parpol tertentu lain. Namun di situlah letak kecerdasan dan kecermatan SBY dalam memilih pasangan yang tepat dalam memenangkan Pilpres 2009 silam.
Sehingga itu, Cawapres PDIP jangan STOP...?!?!?! Karena besar kemungkinan justru ini yang akan membuat PDIP mengalami “stop” (gagal) memasuki kejayaan di Pilpres 2014 sebagai parpol wong cilik untuk menjadi penguasa.
--------