[caption id="attachment_338251" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi/desain: Abdul Muis Syam."][/caption]
TENTANG kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, adalah salah satu contoh pejabat yang punya pola pikir terbalik dan boleh dikata sangat menyesatkan.
Bahkan dengan statementnya seputar kenaikan harga BBM tersebut membuat semua orang spontan berkata: “Whaaaaattt.....? Menteri ini bodoh apa gila?
Ia meyakini bahwa dengan kenaikan harga BBM dipastikan mengurangi dan menurunkan angka kemiskinan.
Pandangan seorang menteri seperti ini lebih cenderung hanya ingin membodoh-bodohi rakyat. Karena ia melontarkannya tanpa diikuti dengan gambaran skema atau uraian serta penjelasan dan langkah-langkah riil yang mendetail: tentang mengapa kenaikan harga BBM bisa disebut menurunkan angka kemiskinan.
Lagi pula titik masalahnya bukanlah terletak di situ (tentang kemiskinan), tetapi alasan dinaikkannya harga BBM adalah karena dua hal. Pertama, karena dinilai APBN akan jebol jika subsidi BBM tidak dikurangi (dinaikkan harganya); dan kedua adalah subsidi BBM yang sejauh ini dinilai tidak tepat sasaran.
Dan sesungguhnya, menaikkan harga BBM bersubsidi adalah cara yang sangat keliru untuk dijadikan solusi dalam mengatasi dua alasan (masalah) tersebut. Sebab, masih banyak cara yang sebenarnya bisa ditempuh oleh pemerintah yang memerintah di negara yang dikenal subur karena memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah ini.
Kalau mau memberi solusi untuk menurunkan kemiskinan, bukan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, tetapi di antaranya pemerintah harus bisa menciptakan dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para pengangguran, dan segera meningkatkan upah minimum para buruh, serta mengelolah dengan cermat dan maksimal sumber-sumber kekayaan alam di negeri ini tanpa melibatkan secara dominasi negara asing, dan lain sebagainya.
Pemerintah melalui menteri ESDM ini nampaknya memang hanya memakai otak neolib dan mengunakan rumus neokolonialisme serta neokapitalisme dalam memecahkan masalah defisit APBN. Publik benar-benar dibuat panik, dan alam pikiran rakyat diseret ke hal-hal yang menakutkan, seolah-olah negara bisa “runtuh” apabila harga BBM tak dinaikkan.
Padahal dalam APBN yang sudah diundangkan itu sangat jelas telah memiliki pos anggaran masing-masing dan sudah tersedia dengan cukup, termasuk anggaran dalam membiayai sejumlah kegiatan infrastruktur. Lalu kenapa hak rakyat tega dicabut? Kalau pun ada masalah, tugas dan kewajiban pemerintahlah itu untuk mencari cara lain tanpa mengorbankan rakyat dengan merampas (subsidi) yang menjadi hak-hak rakyat itu.
Sehingga itu, pemerintah Jokowi-JK bersama para menterinya sebaiknya berhentilah melakukan kebohongan dan tipu-tipu. Tak elok kiranya menyebut Kabinet Kerja itu bekerja demi kepentingan rakyat, yang pada kenyataannya justru sangat nampak tidak bekerja berdasarkan atas kehendak rakyat.