Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Keberpihakan Sudah Salah Arah, Rizal Ramli Ajak Jokowi Kembali ke Trisakti

6 Desember 2014   00:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:57 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artinya, jika dulu perbedaan harga antara Shell dan Pertamina masih cukup tinggi, kini tidak ada lagi perbedaan signifikan antara harga BBM Shell dan Pertamina. Sungguh, kiat menaikkan harga BBM oleh rezim Jokowi-JK ini telah sukses menghidupkan dan “memberi makan” investor asing Shell secara lahap. Dan pada tahun 2015 mendatang, Chevron dan perusahaan milik konsorsium china juga akan mendirikan SPBU nya di Indonesia.

Ekspansi asing menancapkan usaha SPBU-nya ini sudah pasti bukan hanya mencekik rakyat miskin tetapi juga bisa membuat Pertamina jadi terkapar akibat kalah bersaing. Dan jika sudah demikian, pemerintah punya alasan untuk segera menjual Pertamina ke negara asing.

Artinya, pemerintah saat ini sepertinya sangat membuka peluang jatuhnya Pertamina ke “pelukan” modal swasta asing dan pasar keuangan internasional. Apalagi memang sebagai perusahaan migas nasional terbesar dan masuk dalam 500 fortune dengan peringkat utang yang tinggi sangat memungkinkan terjadinya akumulasi modal asing dalam Pertamina. Dan inilah ancaman terbesar yang mengancam kedaulatan negara kita atas migas untuk dikuasai oleh asing. Akhirnya, ekonomi rakyat kita pun bergantung kepada asing pula. Sungguh menyedihkan!

Mengetahui kondisi ke arah kehancuran tersebut, ekonom senior yang pernah sukses mengurangi utang luar negeri sebagai Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Dr. Rizal Ramli, tak henti-hentinya mengajak Jokowi untuk segera kembali ke jalan yang benar, yakni ke ideologi bangsa dan ajaran Trisakti.

“Harus kembali ke Trisakti agar arah dan keberpihakan jelas,” tulis Rizal Ramli dalam akun twitternya.

Sejauh ini, Rizal Ramli tak hanya sekadar mengajak, tetapi juga tak lelah memberi dan menawarkan jalan keluar dari sengatan dan lilitan dampak buruk paham neoliberalisme, neokapitalisme, dan neokolonialisme yang kesemuanya hanya menghancurkan negara ini.

Terkadang selama ini pula, Rizal Ramli memang harus terpaksa mengeluarkan kritikan-kritikan yang sedikit pedas, itu seharusnya diharap maklum saja. Sebab, Rizal Ramli memang sejak muda, yakni di saat masih sebagai aktivis mahasiswa memang sudah terbiasa tampil dan berada di garis terdepan menantang rezim yang dinilai otoriter dan tak berpihak kepada wong cilik.

Lagi pula, kritikan-kritikan pedas dari berbagai pihak, termasuk dari Rizal Ramli sebetulnya bisa bernilai positif dan boleh menjadi barometer yang dapat sekaligus menunjukkan: “apakah rezim Jokowi benar-benar bermental pemimpin rakyat atau bermental asing?”.

“Semula sih saya sangat optimis dengan Jokowi, tagline-nya, jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Dan, tema itu penting sekali karena ekonomi kita sudah terlalu kanan. Kanan itu artinya siapa yang punya duit punya kuasa. Kanan itu artinya yang kaya makin kaya, yang menengah ke bawah itu ya nggak dapat apa-apalah. Kalau saya sih dari dulu inginnya ke tengah, ke ekonomi konstitusi. Begitu Jokowi pidato, bicara macam-macam soal Tri Sakti, oh saya lihat ada harapan, ini arah akan bergeser. Tapi, menit-menit terakhir dibelokkan, berubah menjadi Kabinet Kerja. Nah, kerja itu kan, kerja buat siapa? Dulu zaman Belanda, waktu tanam paksa, Belanda juga mendidik kita kerja, kerja, dan kerja. Tapi, yang dapat surplusnya, yang dapat untungnya, ya Daendels, ya pengusaha Belanda. Jepang dulu juga begitu, kerja, kerja, kerja, bangun ini, bangun itu, yang dapat manfaatnya kan hegemoni kekuasaan Jepang. Jadi, kerja itu nggak ada nilainya. Nggak ada orientasinya, buat apa, buat asing?” ujar Rizal Ramli dalam wawancaranya dengan zonalima.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun