[caption id="attachment_347758" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi/Repro-desain: Abdul Muis Syam"][/caption]
BUKA mata, buka hati, dan gunakan otak. Bahwa dengan tanpa ragu-ragu, pemerintah Jokowi-JK mencabut berbagai subsidi energi untuk rakyat (BBM, listrik, elpiji). Salah satu alasannya adalah karena diharapkan agar rakyat bisa keluar dari “zona nyaman”, alias tidak malas.
Namun aneh bin ajaibnya, di sisi lain pemerintah yang mengaku prorakyat di saat kampanyenya pada Pilpres kemarin itu, kini malah ingin memberikan “zona nyaman” kepada sejumlah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui suntikan subsidi (bail-out) sebesar Rp.72,97 Triliun. Woww... sungguh fantastis?!
Itu artinya, bahwa pemerintah ibarat lebih menghendaki adanya “pesta daging” buat para BUMN, sementara di pihak rakyat hanyalah “makan tulang”. Dan bahkan mungkin tulang pun tak ada. Sungguh amat menyakitkan sekali, memang?!
Sebagaimana dikabarkan, pemerintah melalui Menteri BUMN, Rini Soemarno, sedang mematok anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2015 ke DPR untuk memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada sejumlah BUMN.
Dalam hal ini Rini mengakui, banyak dari perusahaan-perusahaan BUMN yang merugi lantaran melakukan pinjaman dalam bentuk dolar, padahal pendapatannya lebih banyak dalam bentuk rupiah. Alasan karena merugi itulah, BUMN kemudian harus diberi "subsidi" yang anggarannya berasal dari APBN.
Adapun total PMN tercantum dalam RAPBN-P 2015 yang diusulkan oleh pemerintahan Jokowi ke DPR adalah mencapai Rp 72,97 Triliun untuk 40 BUMN.
Angka ini naik tajam dibandingkan dengan era Pemerintahan SBY yang hanya mengalokasikan suntikan PMN dalam APBN 2015 sebesar Rp 5,11 Triliun untuk 4 BUMN.
Dan di antara BUMN yang mendapatkan suntikan PMN yang cukup besar adalah PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) Rp. 20,3 Triliun, PT. Antam Rp. 7 Triliun, Bank Mandiri Rp. 5,6 Triliun.
Menurut Salamuddin Daeng selaku Pengamat dari Indonesia for Global Justice (IGJ), selama ini BUMN dikerahkan untuk mencari Utang Luar Negeri (ULN). Pemerintah menikmati aliran utang luar negeri BUMN sebagai penerimaan devisa.
“ULN BUMN dijadikan bantalan untuk menjaga nlai Rupiah. Demikian pula dengan pejabat BUMN menjadikan kesempatan ini untuk menumpuk kekayaan, gaji besar, dan fasilitas mewah,” kata Salamuddin melalui broadcast blackberry message, kepada penulis, Rabu (21/1/2015).
Selain itu, menurutnya, perusahaan BUMN dikerahkan untuk mencari utung dengan memeras rakyat, misalnya dengan menaikkan tarif listrik, menaikkan harga gas, manaikkan harga pupuk, menaikkan tarif jalan tol, menaikkan bunga kredit, dengan menggunakan berbagai alasan dan argumentasi.
“Sekarang! Ketika utang BUMN menumpuk, APBN yang notabene bersumber dari pajak rakyat justru dikeruk untuk membailout (menyubsidi) BUMN ? Dan apakah ini merupakan ambisi bagi-bagi “jatah” mega proyek pemerintahan Jokowi kepada pemilik modal di sekelilingnya?” ujar Salamuddin bertanya-tanya.
Seirama dengan hal tersebut, Uchok Sky Khadafi selaku Pengamat anggaran politik menegaskan, suntikan modal dari negara kepada BUMN berdasarkan RAPBN perubahaan 2015 sebesar Rp.72,9 Triliun tersebut sangat besar dan mahal sekali.
Uchok pun menilai, hal ini mengindikasi, pertama, BUMN pada pemerintah Jokowi dilakukan “penggemukan” dengan cara penambahan modal sebesar-besarnya agar dapat dijual kepada investor dengan harga semurah murahnya.
Kedua, kata Uchok, memang ini untuk menambah modal BUMN, tetapi hanya untuk mengakomodasi pendukung orang orang Jokowi yang belum mendapat jabatan di pemerintahaan.
Artinya, dengan ada penambahan suntikan modal ini kepada 40 BUMN, diharapkan “mereka” puas mendapat gaji dan tunjangan atas jasa “mereka” saat pilpres 2014 kemarin.
Dan ketiga, katanya, dana BUMN diduga untuk modal politik sebagai tawar-menawar dalam politik kepada partai-partai politik yang galak atau oposisi kepada pemerintah Jokowi.
“Artinya, dana BUMN ini kemungkinan untuk menjadi bancakan politisi partai dan pejabat negara,” ungkapnya.
Padahal menurut Uchok, dari kurun waktu 2010 - 2013, negara menggelontorkan anggaran PMN ke BUMN sebesar Rp.269,7 Triliun, namun keuntungan yang disetor oleh para BUMN tersebut kepada negara hanya sebesar Rp.123 Triliun.
Bila melihat bantuan atau alokasi untuk subsidi, katanya, pemerintah Jokowi melakukan pengurangan besar besaran. Di mana terjadi penurunan alokasi subsidi pada APBN 2015 sebesar Rp 414,6 Triliun, dan pada RAPBN-Perubahaan 2015 hanya sebesar Rp 232,7 Triliun.
“Jadi, penurunan subsidi ini cukup drastis, dan rakyat harus menarik nafas panjang, karena kebutuhan subsidi untuk rakyat tidak akan mencukupi lantaran penurunan sampai sebesar Rp.181,9 Triliun,” katanya.
Uchok pun memastikan, dari pengurangan alokasi anggaran subsidi ini menandakan bahwa wajah RAPBN-Perubahaan Jokowi ini adalah anti-rakyat, dan yang hanya boleh menikmatinya adalah para politisi serta para pejabat negara, dimana penambahan subsidi untuk BUMN sampai sebesar Rp.67,8 Triliun. Sedangkan subsidi untuk rakyat diturunkannya hingga sebesar Rp.181,9 Triliun.
Selain itu, Uchok juga menyinggung mengenai dana untuk desa, yang dinilainya Jokowi adalah presiden pelit buat orang-orang desa. “Penambahaan dana desa hanya sebesar Rp.11,7 Triliun saja. Bila dibandingkan dengan suntikan modal pemerintah kepada BUMN, penambahan sampai sebesar Rp.67,8 Triliun. Di mana dana desa pada APBN 2015 sebesar Rp.9 Triliun, dan pada APBN-P tahun 2015 sebesar Rp.20,7 Triliun,” urai Uchok.
Dan hal ini, menurut Uchok, adalah sudah jelas bahwa wajah RAPBN-Perubahaan 2015 kurang merakyat, anti rakyat. Ini menandakan bahwa blusukan Jokowi atau para menteri selama ini ke tempat-tempat orang miskin agar bisa membantu rakyat miskin hanyalah omong kosong, dan tidak bermanfaat kepada rakyat.
Menyikapi hal tersebut, Dr. Rizal Ramli yang pernah sukses menurunkan Utang Luar Negeri sebesar 9 Miliar Dolar AS selaku Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur, menulis status di akun twitternya: “Menyakitkan jika (pemimpin) hanya penampilan merakyat, tetapi kebijakan tidak berpihak pada majoritas rakyat.”
Namun meski begitu, Rizal Ramli tak pernah henti-hentinya memberi masukan saran maupun gagasan sederhana namun cerdas kepada Pemerintahan Jokowi agar dapat berbuat banyak untuk rakyat. Misalnya, ia pernah menulis tweet: “Di luar APBN, revaluasi asset BUMN (Rp450T) akan meningkatkan nilainya 2-3x. Seperti RR (Rizal Ramli) lakukan di PLN tahun 2000, aset PLN (ketika itu naik) 4x.”
Artinya, sesungguhnya banyak cara untuk memperbaiki BUMN tanpa perlu tambahan modal dari APBN. Dan Rizal Ramli selaku Menko sudah pernah membuktikannya, yakni dengan revaluasi asset PLN pada tahun 2000-2001 sehingga mampu membuat asset PLN naik 4 kali dari Rp.50 Triliun menjadi Rp.200 Triliun, padahal ketika itu PLN modalnya minus Rp. 9 Triliun yang secara tehnis PLN sudah bangkrut.
Namun berkat langkah revaluasi yang dilakukan Rizal Ramli tersebut, PLN pun akhirnya bisa kembali pulih dengan mengantongi Rp. 104 Triliun tanpa menyedot dana dari APBN.
Bukan hanya itu, ketika menjabat sebagai Presiden Komisaris di salah satu BUMN, PT. Semen Gresik (sekarang PT. Semen Indonesia), Rizal Ramli kembali membuktikan kinerja dan prestasinya, yakni berhasil menurunkan biaya produksi sebesar 8 Dolar AS per ton.
Selain itu, Rizal Ramli bahkan berhasil menambah hari produksi dari 250 menjadi 300 hari per tahun, sehingga keuntungan PT. Semen Gresik ketika itu juga berlipat kali.
Yakni tercatat di saat Rizal Ramli sebagai Presiden Komisaris (Preskom), angka penjualan produk Semen Gresik meningkat 12,1 persen atau dari 6,5 juta ton pada periode Januari-Mei 2007 menjadi 7,3 juta ton pada periode yang sama tahun 2008.
Begitu pun dengan angka pendapatan Semen Gresik yang berhasil ditingkatkan Rizal Ramli sebesar 22 persen, yakni dari Rp2,1 Triliun (Januari-Maret 2007) menjadi 2,56 Triliun (Januari-Maret 2008). Laba bersih melonjak 36 persen dari Rp.330 Miliar menjadi Rp.515 Miliar.
Pada Mei 2008, Rizal Ramli sebagai Preskom, bahkan berhasil mencapai kinerja terbaik sepanjang sejarah sejak 2007. Yakni dengan penjualan Rp.1,53 Triliun, Semen Gresik mencetak laba usaha Rp.323 Miliar, atau meningkat 51 persen dibandingkan laba usaha pada Mei 2007. EBITDA (earnings before interest, taxes, depreciation and amortization) atau laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi mencapai Rp.335 Miliar, atau naik 42 persen dibandingkan EBITDA Mei 2007 yang hanya Rp.235 Miliar.
Hal-hal yang pernah dibuktikan oleh Rizal Ramli itulah yang seharusnya bisa diikuti oleh rezim pemerintahan yang mengaku pro-rakyat saat ini. Bukan malah "mengganggu atau merampas" anggaran APBN yang sedianya menjadi hak untuk pemenuhan kepentingan rakyat. Mampukah??? Buktikan dengan kerja dan kreativitas sesuai "slogan" Kabinetnya: "Kabinet Kerja"...!!!
Sebab sangat ironi jika Kabinet pemerintahan ini bernama "Kabinet Kerja" tetapi kenyataannya belum kerja, hanya pandai cari jalan pintas dan langsung mau enaknya saja dengan mengorbankan hal-hal lainnya, seperti mencabut subsidi rakyat tetapi di sisi lain memberi subsidi kepada BUMN..!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H