korban bullying. Suara saudara memberikan ketabahan pada keluarga korban. Amarah masyarakat tertuju pada pelaku.
Para televisi menyuarakan turut prihatinnya pada paraNamun, mata mana yang memberikan belas kasihan pada pelaku juga korban? Jangan ditanya soal belas kasihan pada korban. Ada ribuan. Bahkan, ribuan itu ditunjukkan dengan bantuan dan pencegahan.
Maka pertanyaan kembali berganti, mata mana yang memberikan belas kasihan pada pelaku? Apakah pelaku selalu bersalah? Memang benar, disebut sebagai pelaku karena melakukan kesalahan. Lalu, dari manakah asal sebuah kesalahan tersebut?
Bukan sekedar ada yang terluka sehingga yang melukai disebut pelaku. Pernahkah terlintas, jika pelaku adalah mantan yang terlukai?
Maka, bukan hanya bentuk pencegahan untuk bullying. Bukankah lebih baik juga memberi bentuk pencegahan menjadi pembully?
Apakah belas kasihan pada pembully tidak perlu?
Seiring berjalannya waktu, masyarakat umum tanpa tanya akan segera memberikan hati mereka pada yang terluka. Mereka yang terluka dengan jelas. Sulit untuk mereka melihat kanan kiri. Apakah ada yang terluka meski tak nampak?
Seorang mana yang ingin disebut sebagai pelaku? Seorang mana yang ingin berperan sebagai antagonis? Seorang mana yang rela menyakiti orang lain?
Mereka yang dikatakan pelaku antagonis, juga akan merasa tersakiti. Mungkin disaat mereka menyakiti orang lain, mereka merasakan kepuasan. Mereka merasa luas hati setelah menyampaikan semua perasaannya melalui perilaku yang salah. Bukankah perasaan mereka ini juga memerlukan 'prihatin'?
Sama seperti pesan, orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Selalu terlintas kalimat tersebut setiap melihat Si Antagonis. Selalu ada alasan kenapa ada kejadian menyakiti dan tersakiti. Selalu ada cerita kenapa ada menjadi pelaku dan korban.
Dibalik cerita, ada sebuah alasan disetiap kejadian. Entah itu alasan kecil yang kemudian menjadi masalah panjang dan lebar. Berawal dari canda tawa menjadi luka besar yang tak nampak.