Mohon tunggu...
Dewi Amsika IF
Dewi Amsika IF Mohon Tunggu... Mahasiswa - MHS Unikama_210402080001

Mahasiswa Unikama

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Dengan Pendidikan Sekali Mendayung Dua Tiga Pulau Terlampaui

23 Juni 2023   18:34 Diperbarui: 23 Juni 2023   18:38 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sedari kecil terbiasa untuk menulis. Apa yang dirasakannya dengan mudah diutarakan dalam kata – kata. Segala sesuatu yang mengganggu pikirannya, menggerakkan tangan kanan. Kertas yang tak lagi putih suci, ternoda oleh tinta hitam.

Semakin berkembang dunia, semakin berkembang pula tulisan. Kemampuan menulis sendiri harus dikembangkan. Maka jawabannya adalah berpendidikan dalam menulis, adalah tujuan pada kala itu. Hingga tanpa sadar, menjadi berpendidikan bukanlah perkara mudah.

Menjadi berpendidikan, ada banyak hal harus dilakukan. Menjadi berpendidikan, ada banyak hal bisa dilakukan. Menulis bukanlah satu satunya akhir dari berpendidikan. Proses menjadi berpendidikan memberikan harapan lebih dari apa yang diketahui. Hingga terjebak dalam status pendidik.

Menggali ilmu pendidikan kemudian membagikannya kepada calon generasi bangsa. Pendidikan memiliki tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Informasi yang menjadi tujuan bangsa, memenuhi pilihan pada tujuan akhir. Membuka jalan baru selain menulis.

Pendidik dengan pengabdiannya menggali ilmu pendidikan untuk bekalnya. Tidak sekedar bekal untuk makan sendiri. Namun bekal khusus untuk mereka yang tidak masalah akan soal berbagi. Jika pendidik menyiapkan bekal, maka peserta didik adalah orang yang merasakan perut kenyang. Karena pendidikan memiliki peran sentral untuk kemajuan bangsa.

Pendidik membimbing peserta didik untuk menulis sejarahnya. Begitu pula dengan pendidik, dalam waktu bersamaan juga menulis sejarahnya. Namun, adakalanya cerita peserta didik akan ditulis oleh orang lain. Adakalanya, sejarah pendidik akan ditulis oleh orang lain.

Menulis sejarah bukanlah perkara mudah. Tidak sekedar menuliskan apa yang terjadi berdasarkan fakta. Menulis bukan sejarah juga tidaklah semudah berimajinasi. Imajinasi saja, memerlukan fakta dari apa yang dilihat atau dirasakan. Kemudian disimpan hingga melahirkan visual baru, atau yang disebut imajinasi.

Fakta itu membuka kembali memori lama. Si kecil yang terbiasa menulis, kini mulai terbiasa pada dirinya sendiri yang tengah mengkhawatirkan tujuan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa, tujuan bangsa dalam ambang kritis. Menjadikannya topik berita yang awalnya hangat kini mulai dingin.

Karena perubahan dalam sistem pendidikan, topik hangat berubah menjadi kalimat. Tidak seperti bagaimana manusia biasa berubah menjadi power ranger, yang semakin heboh. Sebaliknya, hanya menjadi wacana biasa.

Tujuan awal berpendidikan dalam menulis, mulai bercampur aduk. Pertanyaan akan, apakah cara menulisku berkembang, mulai dikesampingkan. Yang diutamakan adalah, bagaimana kondisi pendidikan bangsa? Pertanyaan lain mulai muncul, dua kekhawatiran dengan satu jawaban. Ingin sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Hanya terlihat cabang kehidupan didepan, namun setiap cabang memiliki dua kekhawatiran. Jika khawatir pada pendidikan, akan disampaikan melalui tulisan. Jika khawatir pada tulisan, akan dikembangkan melalui pendidikan.

Bukan dua hal yang mudah untuk dilakukan dalam satu waktu. Tapi itu adalah apa yang dilihat dan harus menjadi nyata. Karena imajinasi berawal dari kenyataan. Maka bukan masalah untuk mewujudkan imajinasi, selama masih dalam ranah memungkinkan. Tapi bukan berarti tidak mungkin.

Karena pendidik menulis sejarahnya sendiri, maka tidak masalah jika orang lain yang menulis sejarahnya. Karena menulis adalah apa yang sedari kecil dilakukan, sulit untuk melepasnya begitu saja. Meski menulis tidak lagi tradisional, mengarungi ombak laut tidak lagi mengejutkan untuk melalui dua tiga pulau. Karena yang masih kental adalah, perasaan yang tersampaikan dalam menulis.

Karena menulis apa yang dirasakan. Karena menulis apa yang dipikirkankannya. Kedua hal itu menjadikan sedikit lebih mudah untuk berimajinasi.

Apa yang kurang adalah berkembangnya menulis. Bagiamana merangkai imajinasi agar sampai kepada pembaca. Bagaimana merakit kata agar menghindari kesalahpahaman. Imajinasi saja tidak cukup kuat membuktikannya. Karena itu imajinasi didasarkan pada fakta.

Penulis tidak hanya fokus pada bagaimana ia menuliskan apa yang dirasa dan dipikirkan. Tapi bagaimana tulisan itu layak untuk dibaca oleh orang lain. Bagaimana tulisan itu bisa diterima oleh orang banyak, adalah apa yang perlu dikembangkan dalam menulis.

Jika memang ingin mengarungi dua tiga pulau sekaligus, lebih baik mengetahui apa yang belum dicapai. Lebih baik mengenal kelemahan sendiri.

Meski terlalu sering untuk mendengar kata ‘pada akhirnya akan jadi guru’. Mungkin memang tidak salah karena latar belakang menimba ilmu. Tapi mungkin memang tidak benar karena bukan itu saja akhirnya.

Sudah terbiasa dengan perkataan ‘terpaksa mengambil sastra Bahasa Indonesia’, karena ada bahasa sendiri. Tapi bahasa sendiri tidak semudah bagaimana berucap setiap hari.

Pada akhirnya, apa yang didengar dan kebiasaan menjadi apa yang dipilih. Tidak ada yang salah untuk memilih guru dan mempertahankan kebiasaan kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun