Aku mendengar kabar bahwa pria berbadan kekar itu sudah pensiun meninju kepalaku yang ditimpa hutang. Jadi, aku tak berpikiran kalau tamu itu adalah debt collector waktu silam.Â
Air panas mendidih, sudah saatnya dituang ke dalam teko periuk, tapi aku masih membayangkan siapa yang berani-beraninya mengetuk pintu tanpa sepatah salam pun sepagi ini?
***
"Temui aku di angkringan kopi dekat taman malam, di tempat kita singgah pertama kali usai dari pertunjukkan sirkus." Kata Kujing lewat sambungan telepon.Â
Saat itu, terbilang lima hari sebelum tunas nangka di rumahku tumbuh perlahan serta musang coklat yang tak ada kabar huru-haranya.
"Iya, sebentar lagi menuju lokasi."
Suasana gemerlap dipayungi lampu-lampu mungil saling membentang dari sisi jalan ke jalan lain, ditambah suara gelak tawa anak-anak yang bermain di redup malam membuat hidup suasana pasar gempita. Meski pasar tumpah, tetap saja orang-orang tak menghiraukan betapa asyiknya menatap tukang boneka menjajakan kepada para kekasih, tukang sate yang kita bisa hirup asap kebulnya mengandung aroma kecap dan bumbu rahasia lainnya. Aku dan Kujing pun terbawa hiruk-pikukya hingga kami merapat di angkringan; mengendus kebahagiaan orang lewat malam ini.
"Sudah ada yang batal puasamu?" kata pertama kali yang terucap ketika baru saja duduk memesan kopi, aku kaget namun terpaksa jawab dengan jujur karena sesama kawan dekat.
"Sudah lima kali.." sambil jemariku menghitung, "Iya betul lima kali, saat aku gampang tergoda es sirup di siang bolong dan kuputuskan untuk meneguk sekali tapi justru berkali-kali."
Kujing memperhatikan raut wajahku yang mulai kusam, "Ada niatkah untuk membayar utang puasamu?" sambil kepalanya menengok ke sekeliling, atas, kanan, kiri dengan perasaan cemas, "Kau tidak takut bila ada debt collector disini? Bahkan, ini lebih raksasa daripada pria kekar kemarin."
"Menagih puasa?" tiba-tiba angin menderu kencang, meniup pohon hingga nyaris nampak tumbang, tapi orang-orang itu tetap bahagia dengan keceriaan malam dengan serdadu kembang api menghias langit temaram. Hanya kami yang terperanjat ketakutan. Akhirnya diputuskan untuk pulang ke rumah lebih awal dari biasanya, berjaga-jaga dari sang penagih puasa -- yang katanya sangat raksasa.
***
Aku mengambil pisau dapur, berjalan pelan menuju ruang tamu. Masalahnya, horden tertutup jadi aku tak bisa pastikan ketika aku menyingkapnya perlahan justru tamu lebih sigap dan mencondongkan pistolnya ke keningku.Â