Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sebutir Peluru dari St. Patrice

30 September 2019   02:33 Diperbarui: 30 September 2019   03:27 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Akan ada sebutir peluru yang tersisa, bisa jadi berbuah penyesalan atau ajang penyelamatan diri- 

"Sebentar lagi perampok itu beraksi, jangan dulu lepaskan pistolmu." Kataku berbisik pelan diantara dua gedung pencakar langit, sambil aku hembuskan sebatang cerutu di bibir. Sudah beberapa jam aku berdiri menanti kawanku yang lain datang menggiring segerombolan perampok di sudut gelap kota Misacht, tempat dimana markas besar para mafia ulung berbuat ulah. Aku sudah kabarkan ke seluruh penjuru kota dengan telepon genggamku agar waspada dan jangan sampai bangun tengah malam kecuali ingin kencing atau apalah; ada gerak-gerik mobil hitam limousine serta dua motor besar sedang melaju dalam kecepatan biasa, kaca belakang terbuka setengah, nampak empat orang berjas saling bertatapan, menjinjing senjata laras panjang, dan sepertinya kendaraan itu hendak menuju ke pemukiman warga.

"Tunggu aba-aba dariku." Kataku pelan sambil mataku terpaku di pergerakan roda-roda hitam pekat. Terkadang knalpot itu menderum agak keras. Berkejaran di jalan raya St.Patrice dengan amat lincah. Sesekali pria di mobil itu terbahak-bahak dan menumpahkan botol rum ke marka jalan. Entah mabuk atau mungkin terlalu sering menang main judi, terlihat jemarinya menggenggam empat kartu remi: blacjack, poker, atau apapun yang berkaitan dengan chip. Aku sempat ingin menembak kepala-kepala beringas itu namun rencana bisa-bisa tak berjalan sebagaimana semula. Sambil bersandar di tiang listrik, aku sudah siapkan pistol sepuluh peluru dari dalam saku mantel nan tebal bilamana aku tengah dirundung kekesalan akan kelakuan orang di dalam mobil tersebut.

Pecahan kaca botol rum berjatuhan di jalan. Prank! Aku tahu maksudnya, mobil polisi dibuatnya sengaja tak bisa mengejar pelariannya. Sekalinya mengejar, bisa tertinggal beberapa kilometer dari gerombolan itu mengingat kaca-kaca beling membuat roda apapun yang mengejar itu bocor. Mau tak mau, ada yang segan menyisir beling-beling itu ke tepian jalan atau menyelusup ke gang-gang tikus sebagai jalan pintas. Bukannya aku tak sudi memunguti pecahan itu, tapi tanpa aku yang berdiri di persimpangan gedung-gedung ini sembari memberi komando pada anak buahku untuk siap menembak gerombolan itu, bukankah lebih berbahaya? Untuk beberapa kali, aku dengan tenang menyemburkan asap cerutu.

Benar saja, aksi gerombolan mobil lebih gesit daripada anak buahku. Dua kepala muncul dari balik tingkap kaca belakang sambil jemarinya memelatuk senjata, menembak orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka berkacamata hitam dibalut kain hitam pula sebagai topeng penyamaran. Yang ditembak ialah anak buahku yang sengaja menjelma warga biasa dengan jaket berkerah tinggi serta menggamit payung panjang. Gerombolan itu paham bahwa payung yang digamit bukan payung biasa melainkan senjata ala agen intel. Duar! Anak buahku terjatuh bersimbah peluru menancap tepat dadanya. Aku buang cerutu, lantas merogoh pistol. Aku arahkan ke pengemudi motor di sana yang juga sudah siaga memutar-mutar kepalanya mengawasi agar ketua komplotannya di dalam mobil tidak mati tertembak atau meledak sebab granat.

Aku berlari zig-zag, menembak sambil hindar-hindar semburan peluru dari senjata mereka.

Satu orang yang dibonceng melirik pada pergerakanku, ia mengambil senjata dari sarang bahunya, dan mulai menembakiku secara berondongan. Aku terjebak, bersembunyi di balik gang.

Mobil hitam limousine itu dibiarkan melaju terus sementara dua motor berhenti menyilang jalan. Rupanya memblokade. Empat orang berseragam serba hitam dengan sergap mengincar pelatuknya ke arahku. Sisa tiga orang ternyata, aku semakin cemas kemana satu orang itu? adakah ia mengejarku diam-diam atau mungkin sudah menghadang dari jalur ujung gang ini? mataku bergulir tidak simetris, menatap depan, belakang, kanan, kiri, bahkan dari atas gedung itu takut ada mata-mata justru sudah mengetahui gerak-gerikku sambil tangan kian kencang mengenggam pistol. Keberuntungan tak kuperoleh di saat segenting ini. satu orang tepat beberapa meter dekat diriku, aku mencium bau-bau alkohol dari napasnya. Namun, bukannya ia menampakkan sosoknya hanya melempar granat ke arah gang ini; granat memantul di tembok diantara dua gedung pencakar langit, berhenti di tanah lembek bekas genangan sampah, asap keluar perlahan dari lubang kecil, sebentar lagi meledakkan diri. Kaki tak sempat menendang jauh granat itu. aku mati langkah. Bahkan untuk menghindar pun sudah terlambat.

Duar!

Kemanakah aku? Sebelum meledak, mataku sudah harap-harap cemas, keringat dingin kian deras, sempat aku berkata lirih lewat handie-talkie yang ditempel di kerah mantel ke anak buahku satunya, "Tembak..." semuanya hitam, gelap, hanya sisa-sisa asap ledakan saja membumbung di lorong gang ini. langit serasa pekat mendapati diriku terkulai lemas, terguling jauh akibat ledakan amat dahsyat itu.

Mencekam.

Aku tertinggal beberapa momen dari seling peristiwa. Setiba mataku ingin memejam, menatap darah dari badanku menyembul keluar, membanjiri tempat diriku merebah kesakitan; salah seorang yang berbau alkohol itu pun jatuh dan mendarat di bawah kakiku, mengerang. Satu peluru mengenai punggungnya, cekatan sekali rupanya Sniff tembakkan peluru sniper dari gedung berjarak tiga ratus meter di lantai ke-27; bilamana ia telat, bagaimana nasibku kelak diberondong oleh pemabuk itu tanpa iba?

Masih tersisa sepuluh peluru. Aku yakin bisa berjaga diri dari kecelakaan kakiku yang nyaris terluka parah, badanku yang robek lagi bersimbah darah, dan tanganku? Aku masih bisa meregangkan jemari dan melatuk pistol untuk beberapa peluru ini. Sebentar lagi, aku tak bisa bergerak kecuali tangan kiriku dapat merogoh bom asap dari saku dalam mantel dan membuatku terjaga sampai benar-benar asap itu lenyap beberapa menit.

Suara hentak kaki-kaki berderu mendekatiku, sepertinya komplotan bermotor tadi hendak masuk menyerbu diriku dalam keadaan paling kritis yang pernah kualami. Jantung kian berdebar, lantas kulemparkan sebuah bom asap dekat diriku sambil memantapkan moncong pistol ini mengarah tepat pada ketiga orang sisanya. Cuss... asap mulai menyebar ke penjuru gang sempit dan saatnya beraksi.

Tangan kanan mengepal pistol, beberapa langkah ketiga gerombolan itu mendekat.

Dari celah asap yang sudah terbang ke langit menyisakan ruang agak samar, aku batuk. Kupicingkan mata kananku, berharap ada satu mangsa terkena peluruku bahkan jika bisa tiga-tiganya sekaligus. Benar saja! Samar-samar tiga orang itu menjinjing senjata ala mafia, siap menembakiku dari sudut terjauh sana, menembus kobaran asap liar yang justru mereka tak tahu keberadaanku. Mereka memberondongiku serasa dihujani peluru tajam. Aku justru bersembunyi di balik tempat sampah dengan merangkak sekuat tenaga; peluru-peluru itu mengenai seng baja, tiang listrik, sampah kaleng hingga menyembulkan suara bising. Untungnya tidak mengenai tubuhku satupun. Ketika mereka boros melatuk peluru dengan sia-sia, kesempatan emas bagiku untuk berbalik menembak dari sudut paling tidak rasional:

Cus.. satu peluru kena pundak tapi masih sanggup menembakiku.

Dua peluru sampai sembilan peluru sebelum penghabisan aku tembaki secara asal yang penting mengarah ke gerombolan itu. dua terkulai, satu masih sanggup mengejar. Aku mengalami ketakutan teramat sangat. Sisa sebutir peluru!

Akankah aku harus merelakan sebutir ini demi keselamatan tubuhku atau membiarkan tubuhku dihujami peluru-peluru keji itu? Lagi-lagi Sniff terlampau cepat pelurunya melesat hingga bersarang tepat di belakang kepalanya. Headshot! Aku mendengar suara pekak sniper itu dari kejauhan membuat tumbang satu orang tersisa hingga bisa dikatakan tewas seketika. Aku berpikir, kenapa Sniff tidak langsung saja menembaki keempat-empatnya sehingga aku tidak perlu boros peluru? Seharusnya dari tadi aku selamat.

Aku menekan tombol telepon, berharap bisa terhubung ke Sniff,

"Sniff, apa yang kau lakukan? Kau nyaris terlambat menyelamatkanku.."

Dari panggilan terjauh, Sniff menjawab dengan ragu, "Bukannya aku telat, Komandan, tapi dari keempat gerombolan motor itu ada salah seorang yang mirip denganmu!" aku meneguk ludah "Maka dari tadi, aku takut bila ternyata aku menembakimu."

Aku sedikit tidak yakin dengan penjelasan Sniff. Tanganku gemetar, hatiku bergejolak ringan. Meski tubuhku tak bisa lagi berjalan seperti semula, aku ingin meyakinkan kata-kata Sniff. Badanku mulai merangkak pelan, dua tangan menggayut di pelataran tanah yang bau serta simbahan air kotor bekas tetesan sampah, badanku semakin lemas. aku ingin melihat satu-satu jasad yang telah ditembaki tadi, barangkali benar kata Sniff kalau itu sama persis dengan wajahku. Dengan tenaga yang terkuras, aku merongrong kesakitan demi tubuhku menepi di tubuh korban.

Yang ini bukan.

Satunya juga bukan.

Nyaris lama sekali aku merangkak jauh dari gang sampai ke tengah jalan raya. Ketika menepi pada kedua korban, aku mendapati wajah yang sama persis Sniff katakan. Betul sekali! Dia adalah kakak kandungku! Pernah, dia bilang padaku kalau jangan pernah ganggu pekerjaanku malam-malam. Aku mengangguk. Hampir saban malam dia keluar entah kemana dengan pakaian serba hitam dan pulang larut subuh. Rasa penasaranku tumbuh hingga aku memberanikan keluar malam di kota penuh huru-hara mafia, dan aku bergabung dalam dewan pemberantasan mafia di sudut kota paling gelap. Aku belajar menembak dengan segala pistol yang tersedia hingga aku dinobatkan menjadi komandan pasukan gelap. Nyaris setiap hari, segerombolan mafia berjatuhan korban. Sudah berlangsung lebih tiga bulan. Baru kali ini, kelompok gelapku menumpaskan segelintir mafia yang itu ternyata ialah kakak kandungku. Aku menyesal. Diantara telepon yang tersambung pada Sniff aku mengatakan, "Cepat intai mobil hitam itu!" seketika ia menyanggupi.

Seling beberapa menit, suara memekakan terdengar agak mengerikan. Adakah mobil hitam itu sudah ditumpaskan? Sniff merasa heran padahal pelatuk sniper belum ditekannya. Lantas Sniff mengarahkan sniper ke arahku dengan jarak tempuh pandangan tiga kilometer; sniper terbaik yang pernah kujarah dari gembong mafia kelas kakap yang lalu kuserahkan pada Sniff, si mata elang. Sniff kaget bukan main menemui kepalaku bolong dengan satu peluru menancap di ubun-ubun. Banjir darah. Aku tewas di atas badan kakak kandungku, merebah dengan perasaan menyesal tiada tara. Selamat tinggal St. Patrice!

Lalu bagaimana nasib mobil hitam limousine itu? Sniff memandang telepon genggamnya, satu pesan dariku masih sempat sampai di notifikasinya, "Biarkan saja mobil itu melaju, asal jangan mencuri kakak kandungku, aku sudah senang..."           

      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun