-Akan ada sebutir peluru yang tersisa, bisa jadi berbuah penyesalan atau ajang penyelamatan diri-Â
"Sebentar lagi perampok itu beraksi, jangan dulu lepaskan pistolmu." Kataku berbisik pelan diantara dua gedung pencakar langit, sambil aku hembuskan sebatang cerutu di bibir. Sudah beberapa jam aku berdiri menanti kawanku yang lain datang menggiring segerombolan perampok di sudut gelap kota Misacht, tempat dimana markas besar para mafia ulung berbuat ulah. Aku sudah kabarkan ke seluruh penjuru kota dengan telepon genggamku agar waspada dan jangan sampai bangun tengah malam kecuali ingin kencing atau apalah; ada gerak-gerik mobil hitam limousine serta dua motor besar sedang melaju dalam kecepatan biasa, kaca belakang terbuka setengah, nampak empat orang berjas saling bertatapan, menjinjing senjata laras panjang, dan sepertinya kendaraan itu hendak menuju ke pemukiman warga.
"Tunggu aba-aba dariku." Kataku pelan sambil mataku terpaku di pergerakan roda-roda hitam pekat. Terkadang knalpot itu menderum agak keras. Berkejaran di jalan raya St.Patrice dengan amat lincah. Sesekali pria di mobil itu terbahak-bahak dan menumpahkan botol rum ke marka jalan. Entah mabuk atau mungkin terlalu sering menang main judi, terlihat jemarinya menggenggam empat kartu remi: blacjack, poker, atau apapun yang berkaitan dengan chip. Aku sempat ingin menembak kepala-kepala beringas itu namun rencana bisa-bisa tak berjalan sebagaimana semula. Sambil bersandar di tiang listrik, aku sudah siapkan pistol sepuluh peluru dari dalam saku mantel nan tebal bilamana aku tengah dirundung kekesalan akan kelakuan orang di dalam mobil tersebut.
Pecahan kaca botol rum berjatuhan di jalan. Prank! Aku tahu maksudnya, mobil polisi dibuatnya sengaja tak bisa mengejar pelariannya. Sekalinya mengejar, bisa tertinggal beberapa kilometer dari gerombolan itu mengingat kaca-kaca beling membuat roda apapun yang mengejar itu bocor. Mau tak mau, ada yang segan menyisir beling-beling itu ke tepian jalan atau menyelusup ke gang-gang tikus sebagai jalan pintas. Bukannya aku tak sudi memunguti pecahan itu, tapi tanpa aku yang berdiri di persimpangan gedung-gedung ini sembari memberi komando pada anak buahku untuk siap menembak gerombolan itu, bukankah lebih berbahaya? Untuk beberapa kali, aku dengan tenang menyemburkan asap cerutu.
Benar saja, aksi gerombolan mobil lebih gesit daripada anak buahku. Dua kepala muncul dari balik tingkap kaca belakang sambil jemarinya memelatuk senjata, menembak orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka berkacamata hitam dibalut kain hitam pula sebagai topeng penyamaran. Yang ditembak ialah anak buahku yang sengaja menjelma warga biasa dengan jaket berkerah tinggi serta menggamit payung panjang. Gerombolan itu paham bahwa payung yang digamit bukan payung biasa melainkan senjata ala agen intel. Duar! Anak buahku terjatuh bersimbah peluru menancap tepat dadanya. Aku buang cerutu, lantas merogoh pistol. Aku arahkan ke pengemudi motor di sana yang juga sudah siaga memutar-mutar kepalanya mengawasi agar ketua komplotannya di dalam mobil tidak mati tertembak atau meledak sebab granat.
Aku berlari zig-zag, menembak sambil hindar-hindar semburan peluru dari senjata mereka.
Satu orang yang dibonceng melirik pada pergerakanku, ia mengambil senjata dari sarang bahunya, dan mulai menembakiku secara berondongan. Aku terjebak, bersembunyi di balik gang.
Mobil hitam limousine itu dibiarkan melaju terus sementara dua motor berhenti menyilang jalan. Rupanya memblokade. Empat orang berseragam serba hitam dengan sergap mengincar pelatuknya ke arahku. Sisa tiga orang ternyata, aku semakin cemas kemana satu orang itu? adakah ia mengejarku diam-diam atau mungkin sudah menghadang dari jalur ujung gang ini? mataku bergulir tidak simetris, menatap depan, belakang, kanan, kiri, bahkan dari atas gedung itu takut ada mata-mata justru sudah mengetahui gerak-gerikku sambil tangan kian kencang mengenggam pistol. Keberuntungan tak kuperoleh di saat segenting ini. satu orang tepat beberapa meter dekat diriku, aku mencium bau-bau alkohol dari napasnya. Namun, bukannya ia menampakkan sosoknya hanya melempar granat ke arah gang ini; granat memantul di tembok diantara dua gedung pencakar langit, berhenti di tanah lembek bekas genangan sampah, asap keluar perlahan dari lubang kecil, sebentar lagi meledakkan diri. Kaki tak sempat menendang jauh granat itu. aku mati langkah. Bahkan untuk menghindar pun sudah terlambat.
Duar!
Kemanakah aku? Sebelum meledak, mataku sudah harap-harap cemas, keringat dingin kian deras, sempat aku berkata lirih lewat handie-talkie yang ditempel di kerah mantel ke anak buahku satunya, "Tembak..." semuanya hitam, gelap, hanya sisa-sisa asap ledakan saja membumbung di lorong gang ini. langit serasa pekat mendapati diriku terkulai lemas, terguling jauh akibat ledakan amat dahsyat itu.
Mencekam.