Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sebutir Peluru dari St. Patrice

30 September 2019   02:33 Diperbarui: 30 September 2019   03:27 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku sedikit tidak yakin dengan penjelasan Sniff. Tanganku gemetar, hatiku bergejolak ringan. Meski tubuhku tak bisa lagi berjalan seperti semula, aku ingin meyakinkan kata-kata Sniff. Badanku mulai merangkak pelan, dua tangan menggayut di pelataran tanah yang bau serta simbahan air kotor bekas tetesan sampah, badanku semakin lemas. aku ingin melihat satu-satu jasad yang telah ditembaki tadi, barangkali benar kata Sniff kalau itu sama persis dengan wajahku. Dengan tenaga yang terkuras, aku merongrong kesakitan demi tubuhku menepi di tubuh korban.

Yang ini bukan.

Satunya juga bukan.

Nyaris lama sekali aku merangkak jauh dari gang sampai ke tengah jalan raya. Ketika menepi pada kedua korban, aku mendapati wajah yang sama persis Sniff katakan. Betul sekali! Dia adalah kakak kandungku! Pernah, dia bilang padaku kalau jangan pernah ganggu pekerjaanku malam-malam. Aku mengangguk. Hampir saban malam dia keluar entah kemana dengan pakaian serba hitam dan pulang larut subuh. Rasa penasaranku tumbuh hingga aku memberanikan keluar malam di kota penuh huru-hara mafia, dan aku bergabung dalam dewan pemberantasan mafia di sudut kota paling gelap. Aku belajar menembak dengan segala pistol yang tersedia hingga aku dinobatkan menjadi komandan pasukan gelap. Nyaris setiap hari, segerombolan mafia berjatuhan korban. Sudah berlangsung lebih tiga bulan. Baru kali ini, kelompok gelapku menumpaskan segelintir mafia yang itu ternyata ialah kakak kandungku. Aku menyesal. Diantara telepon yang tersambung pada Sniff aku mengatakan, "Cepat intai mobil hitam itu!" seketika ia menyanggupi.

Seling beberapa menit, suara memekakan terdengar agak mengerikan. Adakah mobil hitam itu sudah ditumpaskan? Sniff merasa heran padahal pelatuk sniper belum ditekannya. Lantas Sniff mengarahkan sniper ke arahku dengan jarak tempuh pandangan tiga kilometer; sniper terbaik yang pernah kujarah dari gembong mafia kelas kakap yang lalu kuserahkan pada Sniff, si mata elang. Sniff kaget bukan main menemui kepalaku bolong dengan satu peluru menancap di ubun-ubun. Banjir darah. Aku tewas di atas badan kakak kandungku, merebah dengan perasaan menyesal tiada tara. Selamat tinggal St. Patrice!

Lalu bagaimana nasib mobil hitam limousine itu? Sniff memandang telepon genggamnya, satu pesan dariku masih sempat sampai di notifikasinya, "Biarkan saja mobil itu melaju, asal jangan mencuri kakak kandungku, aku sudah senang..."           

      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun