Aku tertinggal beberapa momen dari seling peristiwa. Setiba mataku ingin memejam, menatap darah dari badanku menyembul keluar, membanjiri tempat diriku merebah kesakitan; salah seorang yang berbau alkohol itu pun jatuh dan mendarat di bawah kakiku, mengerang. Satu peluru mengenai punggungnya, cekatan sekali rupanya Sniff tembakkan peluru sniper dari gedung berjarak tiga ratus meter di lantai ke-27; bilamana ia telat, bagaimana nasibku kelak diberondong oleh pemabuk itu tanpa iba?
Masih tersisa sepuluh peluru. Aku yakin bisa berjaga diri dari kecelakaan kakiku yang nyaris terluka parah, badanku yang robek lagi bersimbah darah, dan tanganku? Aku masih bisa meregangkan jemari dan melatuk pistol untuk beberapa peluru ini. Sebentar lagi, aku tak bisa bergerak kecuali tangan kiriku dapat merogoh bom asap dari saku dalam mantel dan membuatku terjaga sampai benar-benar asap itu lenyap beberapa menit.
Suara hentak kaki-kaki berderu mendekatiku, sepertinya komplotan bermotor tadi hendak masuk menyerbu diriku dalam keadaan paling kritis yang pernah kualami. Jantung kian berdebar, lantas kulemparkan sebuah bom asap dekat diriku sambil memantapkan moncong pistol ini mengarah tepat pada ketiga orang sisanya. Cuss... asap mulai menyebar ke penjuru gang sempit dan saatnya beraksi.
Tangan kanan mengepal pistol, beberapa langkah ketiga gerombolan itu mendekat.
Dari celah asap yang sudah terbang ke langit menyisakan ruang agak samar, aku batuk. Kupicingkan mata kananku, berharap ada satu mangsa terkena peluruku bahkan jika bisa tiga-tiganya sekaligus. Benar saja! Samar-samar tiga orang itu menjinjing senjata ala mafia, siap menembakiku dari sudut terjauh sana, menembus kobaran asap liar yang justru mereka tak tahu keberadaanku. Mereka memberondongiku serasa dihujani peluru tajam. Aku justru bersembunyi di balik tempat sampah dengan merangkak sekuat tenaga; peluru-peluru itu mengenai seng baja, tiang listrik, sampah kaleng hingga menyembulkan suara bising. Untungnya tidak mengenai tubuhku satupun. Ketika mereka boros melatuk peluru dengan sia-sia, kesempatan emas bagiku untuk berbalik menembak dari sudut paling tidak rasional:
Cus.. satu peluru kena pundak tapi masih sanggup menembakiku.
Dua peluru sampai sembilan peluru sebelum penghabisan aku tembaki secara asal yang penting mengarah ke gerombolan itu. dua terkulai, satu masih sanggup mengejar. Aku mengalami ketakutan teramat sangat. Sisa sebutir peluru!
Akankah aku harus merelakan sebutir ini demi keselamatan tubuhku atau membiarkan tubuhku dihujami peluru-peluru keji itu? Lagi-lagi Sniff terlampau cepat pelurunya melesat hingga bersarang tepat di belakang kepalanya. Headshot! Aku mendengar suara pekak sniper itu dari kejauhan membuat tumbang satu orang tersisa hingga bisa dikatakan tewas seketika. Aku berpikir, kenapa Sniff tidak langsung saja menembaki keempat-empatnya sehingga aku tidak perlu boros peluru? Seharusnya dari tadi aku selamat.
Aku menekan tombol telepon, berharap bisa terhubung ke Sniff,
"Sniff, apa yang kau lakukan? Kau nyaris terlambat menyelamatkanku.."
Dari panggilan terjauh, Sniff menjawab dengan ragu, "Bukannya aku telat, Komandan, tapi dari keempat gerombolan motor itu ada salah seorang yang mirip denganmu!" aku meneguk ludah "Maka dari tadi, aku takut bila ternyata aku menembakimu."