Nenek berpesan padaku bila nanti aku jadi penulis saja. Di kota mulai langka. Di kota banyak promosi iklan saja. Penulis bukan sekadar mengiklankan tulisan saja tapi tentang sejarah pun dituliskan pada secarik kertas lalu dibaca oleh khalayak ramai dan mengiyakan bahwa kamu penulis sekaligus sejarah berjalan. Aku mengangguk takzim. Seperti nenek yang hafal beberapa adegan sejarah yang kini dikemasnya dalam bulir matanya tak sempat baginya diketik dalam kertas. Nenek sudah tua dan susah menulis kata-kata.
"Aku ingin jadi penulis saja..." kataku saat itu berusia lima tahun, aku bisa baca sejak usia tiga tahun lebih. nenek senyum dengan keriput kulitnya tertarik oleh rahang ke arah pipinya.
"Semoga cita-citamu bersanad dariku.." dalam hati nenek.
(3)
Sudah sampai mana tadi? Kepalaku pusing gara-gara tadi terjatuh. Terhuyung tak sadar. Aku seakan siuman. Tanganku garuk-garuk kepala sampai ke leher. Bingung. kenapa tiba-tiba muncul di meja makan?
(4)
Kota ini. tiap sudut dan arus jalanan sudah kulewati semua. gang sempit. Alun-alun. Taman bermain anak-anak pernah kujadikan inspirasi untuk tiap kisahku. Nyaris semuanya terketik rapih dalam komputer dan barangkai akan di-publish sewaktu-waktu.
Tapi, tidak tentang cerita kelam itu: kisah kematian orang tuaku yang benar memukul jiwaku sampai terjatuh. Lebam. Dan membiru kaku. Kisah-kisahku yang lain sudah dikirim di media lokal dan kebanyakan diterima baik oleh redaksi. Beda jauh ketika ingin mengirimkan kisah kematian orang tuaku. Aku tak berani. Aku takut akan kualat. Aku yakin mereka bisa hidup lagi. Adakah tiap ceritaku sebagai akan nyata dan muncul di kehidupan?
Pernah satu kisahku yang tak logis secara empiris, saat malam aku menulis kisah "Ketika Hujan-Hujan Tidak Turun Air" ternyata dua-tiga hari usai diketik rapih dan diberi titimangsa sebagai pelengkap, hujan itu benar tidak turun air tapi uang. Ya, aku sedang krisis moneter dan akibat kekuatan imajinasi hujan itu berupa uang lembar yang melimpah ruah.
Aku pungut satu-satu. Benar kata nenek, jadilah penulis sebab itu anugerah terbesar bagi mereka yang nekat bermimpi dan menjadi nyata. Maka dari itu, aku merasa takut untuk menyelesaikan kisah kelamku, takut bila mereka (benar) hidup lalu mengomeliku karena suka begadang, suka main larut malam, suka keluar rumah tidak jelas.
Seketika bangkit dari kursi, aku mencari obat penenang di laci-laci meja. Otakku lagi tidak sehat. Bisa dibilang penyakit akut. Satu-satunya ialah obat penenang. Aku lupa dimana menaruhnya sudah lama tidak mengonsumsinya lagi. Lekas saja aku kembali menuju kamarku. Bau anyir masih tergenang di lantai-lantai, dan bau hangus bekas kobaran pun tersisa.Â