Sebagian mahasiswa -- saya juga seorang mahasiswa -- berpikir bahwa jikalau setiap saat berjibaku dengan mata kuliah, tugas makalah, bahkan diskusi-diskusi formal pasti merasa bosan dan muak. Ya, hanya menuruti apa kata dosen dan tete-bengek-nya. Padahal niat sebenar-benarnya ngampus ialah menekuni tugas, menjerumuskan diri pada nilai, dan terbitlah akademisi-akademisi cetakan kampus yang berkualitas; nyaris seluruh kampus berharap begitu.
Untung hanya segelintir saja mahasiswa-mahasiswa yang berpikir demikian. Tidak kurang, tapi justru bertambah; berkembang dari masa ke masa. Bak dogma turun temurun yang wajib dilestarikan. Yang rajin pantang mundur, yang malas malah undur-undur. Ya, berjalan dengan posisi dubur di depan; seakan bokong lebih di-prioritaskan.
Saya -- bersifat netral saja -- memandang variasi mahasiswa era kini selalu membawa gen yang tak pernah normal. Ya, kadang ada yang bersifat akademis, anarkis, radikalis, aktivis, bahkan masa bodo-is. Sejatinya mereka sah-sah saja berkiblat pada yang demikian selama tidak mengganggu diri sendiri dan orang lain. Seperti kata pepatah,"Bagaikan air di daun talas" memang manusia diciptakan demi mencari jati diri masing-masing bukan plin-plan masing-masing; tak punya pegangan hidup atau prinsip diri.
Mereka pencari nilai biarlah mereka pada jalurnya, jangan sampai ada doktrin yang memaksanya berputar haluan -- dari positif menjadi negatif. Bahkan ada oknum mahasiswa yang sengaja berperan "sesat" maksudnya jalan orang sudah benar ke utara justru berbalik ke selatan; berlawanan 180 derajat. Ya, namanya juga mahasiswa, pikiran sudah melalang-buana, bebas memilih kehendak, tidak bisa semena-mena ngatur hidup orang lain.
Adapula mahasiswa aktivis, radikalis, anarkis, sudah digolongkan mahasiswa taraf semi-akademis. Mereka berperan penuh dalam keseimbangan sosial. Toh, mereka pula hidup di ranah masyarakat bukan rakyat binatang dalam fabel belaka. Tak ada yang harus disalahkan selama mereka tak keluar dari zona nyaman; seperti judul lagu Four-Twenty.Â
Pada dasarnya, peran mahasiswa lebih penting dari manusia-manusia didikan inlander di luaran-sana, yang mana ditindas mental, pikiran, dan jiwa sehingga lahirlah rasa tidak percaya diri berlebih (minder) -- sejak jaman penjajah pun penyakit inlander telah muncul. Inilah yang seharusnya ditakutkan, sebab jika inlander itu muncul dalam jiwa, bagaimana Indonesia ingin maju tetapi rakyat malah undur-undur; perlu perhatian khusus.
Biarlah mereka bertindak apapun! Toh, masalah karier dan kuliah tak jadi hal yang musti di-prioritaskan dahulu. Sebab, usai mereka tercetak sebagai sarjana, lalu terjun ke lapangan ke tengah masyarakat takkan kaget dan gugup mendengar celoteh-celoteh masyarakat awam dan non-awam; yang penting ilmu sosial harus jalan!
Mahasiswa menjadi penengah antar kubu pro-kontra dari problematika kehidupan yang makin kemari makin semrawut. Ya, mahasiswa turut ambil posisi bagaimana cara meleraikan tiap-tiap masalah. Tak hanya bergelar sarjana lalu merana, tetapi sarjana yang ternama.
Masalahnya, saya serasa janggal dengan keberadaan paham masa bodo-is. Kenapa? Ya, menurut saya, mereka layaknya sampah kampus yang perlu di-daur ulang sebagaimana mestinya. Yang kerjaan-nya acuh tak acuh terhadap lingkungan, sosial, bahkan diri sendiri pun tidak terurus; mandi jarang, kuliah jarang, sedangkan masalah perut malah garang. Bisa jadi mahasiswa seperti ini di-kategorikan sebagai individualis atau bahasa ilmiahnya: apatis.
Coba saja mahasiswa masa bodo-is ini berkeliaran di kampus, saya tak habis pikir bagaimana kondisi kampus saat itu: Apakah layak guna atau takkan guna? Ya, pikirkan saja mahasiswa trending topik dengan kemalasannya, berjongkok iba di pinggiran jalan, bercerita hal-hal yang tak terlalu fanatik, diam lama-lama di warkop sampai tengah malam; seakan warkop bak tempat kuliah yang paling asyik. Ya, ditemani kopi dan rokok menjadi menu tiap pagi, siang, sore, malam. Jika mereka benar-benar ada dan tak berguna, apa-lah makna hidup sesungguhnya? -- bukankah untuk meraih cita-cita? Ya, mungkin ada satu pertanyaan: mau dibuang kemana mereka semua?
Yang membuat saya tak habis pikir ialah ada kabar bahwa paham masa bodo-is ini akan melahirkan satu madzhab baru -- yang mulai nge-tren di simpang-siur kehidupan kuliah -- ialah madzhab SKIP-is (dalam bahasa inggris: lanjut tanpa basa-basi); madzhab anyar yang tumbuh pesat tanpa asupan vitamin berkala.Â
Mereka inilah golongan mahasiswa yang perannya membuat lahan kursi di kelas justru berkurang dan daftar kehadiran yang penuh dengan huruf "A". Ya, jangan sampai manusia-manusia masa bodo-is dan bala tentaranya hanya membuat tindakan-tindakan yang tak bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Buatlah ranah bagi sifat mereka yang liar bak hutan rimba sehingga mereka merasa bahwa ada makhluk yang masih berbelas kasihan padanya -- bisa jadi sifat apatis ini bawa-an dari nasab sebelumnya.
Madzhab SKIP-is; yang berlarut-larut dalam dunia masa bodo, yang malas berkomunikasi dengan makhluk sosial lainnya, yang merelakan jam mata kuliah terlewat begitu saja demi merealisasikan rasa malas dan ke-gabutan hakiki. Ya, saya pernah mencoba berinteraksi orang yang berpaham demikian;
"Hey, elu ada matkul gak?"
"Ah, di-SKIP aja lah, buang-buang waktu!"
Begitu-lah dialog singkat antar mahasiswa netral dan mahasiwa kopling "R". Padahal, masih ada cara-cara supaya hidup mereka "sedikit" bermakna dan tidak serasa pensiun; yang butuh di-gas lagi menuju top-gear. Ya, mungkin boleh saja mereka terlena dalam sistim SKIP-nya selama paham itu tidak menahun; 14 semester selalu di-SKIP (Mahasiswa Kekal)
Nah, disini-lah para mahasiswa dari berbagai tema prinsip di-satukan; dari akademis, aktivis, radikalis, untuk menanggulangi bencana korban jiwa yang ter-apatisi. Ya, saya mencoba menyatukan mereka yang termaktub dalam forum informal sekedar membicarakan ahli apatis dan SKIP-is ini, salah satunya ialah memprakarsai komunitas SKIP (Permaskip: Persatuan Mahasiswa SKIP) yang mana menanggulangi mereka yang selalu tak berguna, berleha-leha, dan masa bodo akan mata kuliah yang ada. Daripada tenggelam dalam kubangan media maya, lebih baik dibuatkan wadah seperti ini untuk dijadikan hal-hal yang positif, seperti berkarya lewat musik, sastra, lukis, dancing, dan banyak lagi macam-macam minat.
Karena adanya grup ini adalah bukti rasa peduli dari kita, mahasiswa rasa sosial -- bukan rasa pensiun. Yang kehadirannya perlu alasan kuat mengapa harus ada mereka. Ya, memang semua mahasiswa pasti tak pernah sama prinsip hidupnya, tetapi apa salahnya kita mencoba membantu mereka yang dirasuki rasa malas, rasa pensiun, rasa veteran perang ilmu.
Jadi, bagi penganut paham masa bodo-is jangan pernah risau, karena paham mahasiswa itu satu rasa, satu jiwa, satu harapan tuk membanggakan nusa dan bangsa. Kami ada untuk kalian yang merasa tak pernah ada. Inilah ranah kita bersama! Agar keadilan tetap tercipta semestinya.
Terima kasih, salam dari mahasiswa netral.
Bandung, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H