Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puisi | Kau Bercerita, Biar Aku yang Menulis

1 Januari 2019   17:49 Diperbarui: 1 Januari 2019   18:03 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bila lampu merah berubah hijau, segalanya akan lancar, bukan? Di persimpangan, aku melihat mobil-mobil yang melintas bak aliran deras sungai, dimana salmon-salmon berenang dengan gembira. Kodok saling loncat-loncat kegirangan. Ricik air yang kian menyela di alam membuat segerombol capung betah terbang-terbangan kesana-kemari. Lihat disana! Gedung bertingkat, motel, apatemen menjelma seperti permen lolipop; bentuknya bulat-bulat lucu, berwarna merah dan pink dengan motif spiral yang menggiurkan, menjulang tinggi ke angkasa, ada rasa yang meleleh melewati sulur-sulur gagangnya. Aku membayangkan, kita berdua arungi sungai dengan sampan, sungai pun menjelma bagai adonan karamel yang mengalir kental. Tanganku icip-icip rasa manisnya. Sesekali aku jahil mencolekkan karamel tadi di pipimu, kau pun balas dengan lugunya, aku tertawa." kala itu, kau nampak imut, membuat deru angin petang tambah menyibak hitam bola matamu. sungguh mempesona. 

"Ya, mendadak kau tepikan sampan di sisian sungai. Kau langsung menarik badanku, meremas jemari kecilku menuju bukit sana. Berlarian. Berkejaran. Remah tanah menguarkan aroma petrikoria; berbalut rasa tiramisu, dilapisi krim hazelnut diatasnya. Kita duduk bersandingan tanpa jenuh, saling berbalas kata-kata. Memandang panorama begitu puasnya; gemericik sungai karamel, permen lolipop yang menembus awan, tanah beraromakan tiramisu. Ya, matahari seakan seperti kue cokelat dengan taburan meises yang lezat dan awan-awan menyerupai origami dari paras-parasnya yang lucu. Ya, aku mendecak kagum. Tanganku melambai ke langit. Kuambil sepotong fantasi darinya, meleleh bak cairan blue-berry; kau suapi aku, begitu pula aku suapi kamu. Pada akhirnya, kita saling sedekap sampai petang menjelang."

O, bingkai wajahmu begitu menghayati cerita. Sementara aku sibuk membayangi apa yang baru saja diimpikan; kata demi kata, alinea, dan seluruhnya telah kurangkai. 

"Izinkan aku untuk menambahkan ceritanya, boleh?

Kau yang tengah senyum-senyum sendiri, merebaklah lesungmu bak lembayung, "Iya, boleh..."

"Ketika kau mengarang, diam-diam aku sudah menulis suatu hal yang aku idam-idamkan: Ya, perihal cerita kita kelak tertulis indah, bersama naskah baru: dengan kau dan aku, sebagai tokoh utamanya."

O, gemasnya...

Bandung, 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun