Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puisi | Kau Bercerita, Biar Aku yang Menulis

1 Januari 2019   17:49 Diperbarui: 1 Januari 2019   18:03 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SORE, orang-orang kalang kabut menyusuri dinding kota, menyela di tiap baliho iklan pasta gigi, mengikis satu-dua utas partitur keresahan. Sementara, jalan-jalan semakin ramai saja.

Ah, aku mulai tidak nyaman disini: terjebak di tengah macet yang sampingnya ada truk semen, bis antar kota, mobil mengkilat, dua muda-mudi yang saling menumpahkan kata-kata cinta. Ada apa jalan di sore ini? masih sehatkah seperti sedia kala? Sementara, angkot ini masih terdiam, menanti saat ia akan di-gas oleh supir. Deru mesin semakin mendengus. Dari spion depan, aku menilik mimik supir yang separuh gelisah; ada yang dipikirkan selama ia bekerja di terminal, yakni istri bermata anggun bak delima serta tiga anaknya yang masih imut lagi mungil.

Ya, sore tambah menyebalkan kala angkot ini memutar lagu perihal perpisahan. Radio butut dengan gagahnya menguapkan melodi lirih, tak bergairah, lemas, bikin mata cepat-cepat memejam saja. Terlihat lesu para penumpang, dari wajahnya menganga mulut pedagang bakul sendal sambil mendengkur, ibu muda mulai terantuk-antuk di bahu anaknya. Satu anak SMA menunduk jenuh di bawah layar foto bertuliskan share; sekadar ingin bagikan apa yang tertumpah di titik-titik derau, membentuk senyawa karbon-monokrome.

Ya, sorak penjual tahu, telur puyuh, dan kacang-kacangan beradu sahutan, berputar-putar, melewati labirin kota yang macet. Rasa letih selimutiku pelan-pelan. menjelma-lah kepalaku menjadi perpaduan yang kemelut: antara kantuk menuju lesu. Dengan sigap, bahumu menyangga kepalaku; empuk nan nyaman.

Saat itu, kau sedang asyik membaca suasana, matamu menembus tingkap kaca angkot, dibenturkannya tepat di lampu merah. Terlihat isi angkot ini senyap. Lagu yang terdengar mulai memelan; kau celinguk-kan entah siapa yang kau tatap. Sementara aku masih merasa nyenyak berada di bahumu. O, belum dua menit berlalu, kau lantas membangunkanku. Kau berkata bila kau benar-benar merasa sendirian.Merengek minta diajak bincang-bincang olehku;

"Aku bosan..."

Sepintas aku terbelakak. Mengucek-ucek bola mataku agar aku sadar, bahwa kau masih inginkan aku tuk bermesraan meski suasana tak saling menghayati. Lantas, aku membuka ransel, mendapati selembar kertas serta pena; dengan jeli, kau perhatikan aku simak-simak. "Apa yang kau lakukan?"

Napas terhela, orang-orang masih terlelap, jalan tetap tak kunjung melaju. Macet. Tinggal kita berdua yang bersanding di penantian lampu merah.  

"Aku punya hiburan." lalu kau sergap menoleh wajahku. Ya, sungguh kau jelita sore ini dan seterusnya. Kau memerah pipinya. Dari situ, kita sama-sama terhibur; Oh, sangat recehnya aku dalam merayu kamu.

"Kau bercerita, biar aku yang menulis." O, rona wajahmu seketika mengerjap takjub. Mendelik dengan cerlakmu membawakan pesona hiruk-pikuk petang terseret oleh gemulainya matamu. Sehingga aku berhipotesis, bahwa tidaklah aku sia-sia menyatakan cinta padamu saat itu; saat kau sedang sendiri, menenun kesedihan.

Tiba-lah angkot tuk merayap pelan-pelan. Kau siap-siap bercerita:

"Bila lampu merah berubah hijau, segalanya akan lancar, bukan? Di persimpangan, aku melihat mobil-mobil yang melintas bak aliran deras sungai, dimana salmon-salmon berenang dengan gembira. Kodok saling loncat-loncat kegirangan. Ricik air yang kian menyela di alam membuat segerombol capung betah terbang-terbangan kesana-kemari. Lihat disana! Gedung bertingkat, motel, apatemen menjelma seperti permen lolipop; bentuknya bulat-bulat lucu, berwarna merah dan pink dengan motif spiral yang menggiurkan, menjulang tinggi ke angkasa, ada rasa yang meleleh melewati sulur-sulur gagangnya. Aku membayangkan, kita berdua arungi sungai dengan sampan, sungai pun menjelma bagai adonan karamel yang mengalir kental. Tanganku icip-icip rasa manisnya. Sesekali aku jahil mencolekkan karamel tadi di pipimu, kau pun balas dengan lugunya, aku tertawa." kala itu, kau nampak imut, membuat deru angin petang tambah menyibak hitam bola matamu. sungguh mempesona. 

"Ya, mendadak kau tepikan sampan di sisian sungai. Kau langsung menarik badanku, meremas jemari kecilku menuju bukit sana. Berlarian. Berkejaran. Remah tanah menguarkan aroma petrikoria; berbalut rasa tiramisu, dilapisi krim hazelnut diatasnya. Kita duduk bersandingan tanpa jenuh, saling berbalas kata-kata. Memandang panorama begitu puasnya; gemericik sungai karamel, permen lolipop yang menembus awan, tanah beraromakan tiramisu. Ya, matahari seakan seperti kue cokelat dengan taburan meises yang lezat dan awan-awan menyerupai origami dari paras-parasnya yang lucu. Ya, aku mendecak kagum. Tanganku melambai ke langit. Kuambil sepotong fantasi darinya, meleleh bak cairan blue-berry; kau suapi aku, begitu pula aku suapi kamu. Pada akhirnya, kita saling sedekap sampai petang menjelang."

O, bingkai wajahmu begitu menghayati cerita. Sementara aku sibuk membayangi apa yang baru saja diimpikan; kata demi kata, alinea, dan seluruhnya telah kurangkai. 

"Izinkan aku untuk menambahkan ceritanya, boleh?

Kau yang tengah senyum-senyum sendiri, merebaklah lesungmu bak lembayung, "Iya, boleh..."

"Ketika kau mengarang, diam-diam aku sudah menulis suatu hal yang aku idam-idamkan: Ya, perihal cerita kita kelak tertulis indah, bersama naskah baru: dengan kau dan aku, sebagai tokoh utamanya."

O, gemasnya...

Bandung, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun