Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Perjalanan Menulis (2), Metamorfosis Gelap Melahirkan Kilap Pendar yang Mengkilat

31 Desember 2018   18:38 Diperbarui: 31 Desember 2018   18:57 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Max Andrey from Pexels

Aku terkaget. Bukannya ia menginspirasi justru ingin menidurkan orang, membiarkan jutaan manusia terlelap dalam mimpi fantasi. Uh, seharusnya aku tak bertanya ini kepadanya. Tapi apa boleh buat, matahari berpesan kepadaku agar temui bulan; ia memang banyak nasihat dan dongeng malamnya. lalu, aku gerakkan bibir ini demi bertanya sekali lagi.

"Kata matahari, kau adalah sosok inspirator sejati."

"Hmm.." bulan merapalkan lidahnya, bersiap-siap bermonolog. "Bila malam tiba, aku akan berikan satu-dua nasihat padamu, semoga saja kau tidak lupa." Aku membuka buku, pena digenggam, aku siap merangkai segala nasihatnya.

"Selama aku di langit, tidak membuatku buta pada keadaan. Meski gelap, aku timbul dengan sedikit cahaya redupan. Tadi, kau berkata padaku bahwa aku nganggur. Aku tolak mentah-mentah. Sebab, aku diciptakan oleh kuasa-Nya untuk mematuhi kodrat. Aku memang terlahir di daerah gelap. Bukan berarti aku ikut-ikutan menjadi gulita. Bukankah memendarkan cahaya adalah karyaku? Hmm,, sesuatu akan fana sesuai masa kadaluwarsa. Sekitar beberapa jam lagi, aku akan lenyap. Aku tidak menyisakan apapun kecuali pendaranku lambat-laun beralih menuju fajar."

Aku menghela napas. Yang dia katakan sudah termaktub rapih di buku ini. Aku salah, sebab telahmengandalkan karya untuk jadi abadi. Bulan memang tidak bernyawa, dia hanya digerakkan oleh kosmos yang sistematis. Aku penasaran. Apakah semuanya ingin abadi lewat karya?

"Rumahku ialah pekat, menyendiri di kolong kota. Selama itu, aku tak berprasangka bahwa aku sendirian. Bintang-bintang mendekat padaku. Berbagi ceria dan kisah-kisah penduduk langit. Aku senang, ketika diriku berkarya ternyata masih ditemani oleh bintang gemerlap. Sehingga aku berucap, kehadiran teman itu sungguh berarti, bukan? Lantas, adakah dirimu punya kawan? Percuma, engkau berkarya namun teman justru tiada." Bulan tertawa lega. Terbahak-bahak memukul dengkulnya.

Aku terbesit sebuah cerita, agar menjadi abadi kau harus berimajinasi untuk hidup dalam kefanaan. Namun, itu disanggah oleh bulan, "Buat apa berkhayal yang tidak-tidak? Khayalan itu tidak membuatmu kenyang. Berkhayal hanya diperuntukkan bagi mereka yang kalah oleh angan-angan. Selama aku ditakdirkan jadi bulan, aku diajarkan untuk tidak berimajinasi lebih jauh dari batas koridor. takut aku terlena dengan tugasku, yakni menyenyakkan orang." Bulan menguap ngantuk, bersandar di tiang cakrawala, sembari cerita.

"Matahari itu benar. Kita ditakdirkan untuk menepati takdir. Menjadi diri sendiri ialah bagian dari takdir. Maka, sudahkah kamu bertakdir? Usahakan sekali seumur hidup. Aku dulu pernah pesimis, aku memang tak punya pendaran. Aku merasa iba atas wujudku. Kemudian, aku terduduk menung di serambi kaffe, memesan kopi" bulan tiba-tiba menitikkan air mata, berjatuhan mengenai ubun-ubunku.

"Usai matahari diam-diam mengusik kegelisahanku, tiba-tiba ia mendekati aku di meja bundar, di kaffe dekat terminal langit -- kau takkan tahu tempat yang kumaksud. Dia lantas bicara perihal kodrat."

Adapun aku mendengar lamat-lamat, aku terlalu serius dalam dialog itu, bulan pun mengambil bintang terdekatnya, lalu ditunjukkan padaku. "Ini bintang. Kamu pasti tahu itu. Tapi, apakah kau tahu bintang ini masih satu kerabat dengan matahari? Ya, matahari itu bintang, yang akrab kusapa di pergiliran masa. 

Bintang punya cahaya sementara aku tidak. Lalu, dari manakah aku bisa berpendar?" bulan memberi teka-teki amat sulit, aku menggeleng kepala. "Ya, aku diberi cahaya oleh matahari. Ia sungguh baik, bukan? Aku memantulkan cahaya agar aku terus optimis untuk menaati kodrat dan berkarya. Ia adalah guruku, mengajariku tentang caranya berpendar, caranya berkarya lewat sepah-sepah cahaya yang kupantulkan. Adakah kamu ingin menjadi guru bagi orang lain? Itu adalah inti dalam pencarian jati diri, saling memahami satu sama lain."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun