Aku duduk di pesisir timur, tergolek lemas, sekadar rebahan sejenak. Kulihat hamparan langit membuat ruang renung yang indah; bagaikan kubah biru, bulat setengah tabung, berarsir titik-titik imaji. Tiba-tiba ia mengantarkanku menuju dimensi khayalan. Ya, dari situ kelopak semakin menciut. Hitam berbintik. Aku terjebak di imajinasi.
Orang-orang berpendapat imajinasi adalah titik bayang yang muncul begitu natural. Membumbul ke angkasa. dan mereka tak paham bahwa imaji itu menjebak. Hingga pada saatnya, imajinasi didewakan oleh segelintir manusia sebagai pusat kekuatan manusia untuk berpikir. Ketika imajinasi berubah sesuai dobrakan nafsu, murka-angkara, yang saling menggebu agar imaji terwujud, aku terbangun.Â
Kembali meratakan tubuh ke atas angin, bergoyang-goyang bak sulur ilalang di hamparan. Nafsu seperti apa yang aku wujudkan? Apakah benar aku ingin abadi lewat karya? Sehingga acap kali aku melamun ke segala arah, mata angin pun seakan memberi sinyal keabadian, aku berlari menuju cercah cahaya imaji. Memeluknya. Merapatkan diriku agar bersatu pada kekuatan khayalan. Ternyata, pradugaku membawa bencana: jatuh, teguling-guling dalam dasar pikiran. Ah, matahari itu benar.
Jalan terjal karyaku terlahir dari ketidak-sengajaan khayalanku pada perihal gaib. Semua cerpen dan prosaku tidak lain dan tidak bukan hanya sebatas landasan mengada-ada. Adakalanya aku menuruti kata matahari. Aku membuka kelopak. Hamparan biru berubah oranye, agak ke-emasan, semburat jingga menetes di kanvas cakrawala. Matahari itu ingin berpulang.
Aku bergegas lari membawa buku catatan, menuju barat yang jauh, menunggangi angin lewat tiup-tiup cemara dan pohon kelapa. Matahari itu masih tegar di ujung perpisahan. Melarutkan kuning di kelopak bumi yang basah harapan. Aku bertanya satu-dua pada matahari.
"Apa yang ingin anda lakukan? Berserah diri pada landai tanah tandus?"
"Nak, aku berserah karena kodrat. Aku dibekali Tuhan sifat tegar. Bukan berarti aku lemah. Namun, Tuhan ingin tahu seberapa tegarnya aku bila ditempatkan serendah ini, dan aku ditugaskan untuk tidak selamanya di atas langit. Sebab, yang abadi itu bukanlah prioritas hamba. Tentang kamu hanya berimajinasi agar kelak kamu kekal selamanya lewat goresan mimpi merupakan langkah salah"
Aku tertegun sejenak. Udara sejuk sore benar-benar teduh mengibasi tubuhku yang terkulai oleh ragam khayal. Dia bercerita begitu singkat tapi memakna. Begitu nyaman di hati. Adakalanya aku meng-iyakan segala monolognya. Sesaat aku menulis satu-dua kata, dia berlanjut lagi,
"Tugasku hanya menuruti kata hati untuk menuju masa tua. Bila ingin adu usia denganku, tetap saja tua-an aku daripada kamu. Maka, sudahkah kamu turuti hati sanubarimu selama hidupmu? Jujur, aku tak pernah berkhayal ingin bersinar terus-menerus.Â
Yang aku pinta pada Tuhan ialah berilah penggantiku setelah masa cerahku habis. Tuhan pun mengabulkan. Ya, beberapa menit lagi, bulan muncul dengan takzimnya. Cahaya redupnya ialah hasil metamorfosis doaku. Dialah penggantiku, semoga kau bisa berbaur dengannya. Selamat tinggal." Matahari menyudahi nasihatnya, tinggal aku menulis apa yang dia ceritakan.
Aku mengkuas tulisan begitu hayati; dalam tulisanku, tegar hanya dimiliki orang yang merebahkan diri atas kodrat, yang tak dipunyai oleh mereka yang ingin di atas angin. Dengan kata lain, aku harus tegar.Â