Yang sedang kubutuhkan detik ini adalah bagaimana aku bisa bermanfaat di detik-detik kemudian. ketika banyak tulisan terketik rapih, ketika ide telah tertuang di buku harian, tinggal aku diam. Merenungi betul apa yang kutulis. Teliti.Â
Tidak muluk-muluk dengan isi serta pesan tersiratnya. Aku butuh kesimpulan; saat ruah-ruah manusia ingin membaca dan merenungi pelan-pelan. Di sana, orang terkesima dan penasaran akan perjalanan tulisanku: ihwal cerpen dan prosa-prosa istimewa.
Memang, menulis tidak semudah membaca. Pengalamanku perihal tulisan bak melewati tebing liar, juntai sulur tanaman berduri, kadang hindar-hindar kubangan bau racun. Ya, ada hewan buas siap menerkam. Di rundung malam gulita, hanya ada gugus bintang yang bersinar teduh. Selama aku terjebak di hutan imajinasi, aku tuturi gerik bintang itu ber-rotasi menuju fajar. Meski malam mengundang kejahatan, mata-mata dengki mengintai dari rimbun semak, diam-diam menyerangku dalam senyap; aku tetap siaga.
 Bintang di ujung sana begitu cemerlang. Rasi menjalar dan memberi formasi cahaya yang beruntun. Aku keluar endap-endap, menyusuri jalur nan gelap. Hitam. Bau tidak sedap berputar-putar di rongga hidung. Ah, inikah sukarnya menulis? Sehingga kelak bintang itu hilang meredupkan pijarnya, aku bertemu oleh matahari. Di timur, ada dialog kecil antara aku dan cakrawala subuh;
"Hidupmu untuk menulis, bukan?"
"Menulis itu untuk hidup, lebih tepatnya mengacu pada keabadian." Kataku, usai mengutip cuplikan bijak seorang Pramoedya A. Toer, aku mengela nafas.
"O, mungkin kamu harus belajar lagi." Matahari mematahkan argumenku, "Masih banyak kekurangan yang kamu ucapkan, Nak."
"Ya, jikalau aku menghasilkan karya itu baru saja aku memperpanjang umur." Lagi-lagi aku merujuk pada Helvy Tiana Rosa, aku mulai deg-degan bila matahari tetap teguh argumen.
"Haha,, kamu hidup berjibaku dengan tulisan? Kamu setarakan sebuah karya sebagai alat memperpanjang umur? Kamu benar-benar ingin abadi? Sudahlah Nak, kamu sudah dewasa dan carilah jati diri sebenarnya." Matahari tergelak tawa, meluapkan omongan tiada putusnya. Aku bengong agak lama, merenungi pelan-pelan.
Pematang timur telah berangsur naik menuju duha. Matahari pelan-pelan merangkak. Awan terserak manja. Menatap bongkah sejuk embun yang memanas. Diriku memang ingin menulis. Hanya satu-satunya upaya agar aku tetap teguh berkarir dalam pelarian yang bersifat fana.Â
Usai aku mendengar satu-satu nasihat matahari, ada yang perlu ditulis di buku catatan: Jadilah diri sendiri! Ya, hanya itu dari sekian runtutnya bincang dini hari. Aku perhatikan kembali tingkah matahari; tetap pada porosnya, memenuhi kodrat alam demi keseimbangan terjaga.
Aku duduk di pesisir timur, tergolek lemas, sekadar rebahan sejenak. Kulihat hamparan langit membuat ruang renung yang indah; bagaikan kubah biru, bulat setengah tabung, berarsir titik-titik imaji. Tiba-tiba ia mengantarkanku menuju dimensi khayalan. Ya, dari situ kelopak semakin menciut. Hitam berbintik. Aku terjebak di imajinasi.
Orang-orang berpendapat imajinasi adalah titik bayang yang muncul begitu natural. Membumbul ke angkasa. dan mereka tak paham bahwa imaji itu menjebak. Hingga pada saatnya, imajinasi didewakan oleh segelintir manusia sebagai pusat kekuatan manusia untuk berpikir. Ketika imajinasi berubah sesuai dobrakan nafsu, murka-angkara, yang saling menggebu agar imaji terwujud, aku terbangun.Â
Kembali meratakan tubuh ke atas angin, bergoyang-goyang bak sulur ilalang di hamparan. Nafsu seperti apa yang aku wujudkan? Apakah benar aku ingin abadi lewat karya? Sehingga acap kali aku melamun ke segala arah, mata angin pun seakan memberi sinyal keabadian, aku berlari menuju cercah cahaya imaji. Memeluknya. Merapatkan diriku agar bersatu pada kekuatan khayalan. Ternyata, pradugaku membawa bencana: jatuh, teguling-guling dalam dasar pikiran. Ah, matahari itu benar.
Jalan terjal karyaku terlahir dari ketidak-sengajaan khayalanku pada perihal gaib. Semua cerpen dan prosaku tidak lain dan tidak bukan hanya sebatas landasan mengada-ada. Adakalanya aku menuruti kata matahari. Aku membuka kelopak. Hamparan biru berubah oranye, agak ke-emasan, semburat jingga menetes di kanvas cakrawala. Matahari itu ingin berpulang.
Aku bergegas lari membawa buku catatan, menuju barat yang jauh, menunggangi angin lewat tiup-tiup cemara dan pohon kelapa. Matahari itu masih tegar di ujung perpisahan. Melarutkan kuning di kelopak bumi yang basah harapan. Aku bertanya satu-dua pada matahari.
"Apa yang ingin anda lakukan? Berserah diri pada landai tanah tandus?"
"Nak, aku berserah karena kodrat. Aku dibekali Tuhan sifat tegar. Bukan berarti aku lemah. Namun, Tuhan ingin tahu seberapa tegarnya aku bila ditempatkan serendah ini, dan aku ditugaskan untuk tidak selamanya di atas langit. Sebab, yang abadi itu bukanlah prioritas hamba. Tentang kamu hanya berimajinasi agar kelak kamu kekal selamanya lewat goresan mimpi merupakan langkah salah"
Aku tertegun sejenak. Udara sejuk sore benar-benar teduh mengibasi tubuhku yang terkulai oleh ragam khayal. Dia bercerita begitu singkat tapi memakna. Begitu nyaman di hati. Adakalanya aku meng-iyakan segala monolognya. Sesaat aku menulis satu-dua kata, dia berlanjut lagi,
"Tugasku hanya menuruti kata hati untuk menuju masa tua. Bila ingin adu usia denganku, tetap saja tua-an aku daripada kamu. Maka, sudahkah kamu turuti hati sanubarimu selama hidupmu? Jujur, aku tak pernah berkhayal ingin bersinar terus-menerus.Â
Yang aku pinta pada Tuhan ialah berilah penggantiku setelah masa cerahku habis. Tuhan pun mengabulkan. Ya, beberapa menit lagi, bulan muncul dengan takzimnya. Cahaya redupnya ialah hasil metamorfosis doaku. Dialah penggantiku, semoga kau bisa berbaur dengannya. Selamat tinggal." Matahari menyudahi nasihatnya, tinggal aku menulis apa yang dia ceritakan.
Aku mengkuas tulisan begitu hayati; dalam tulisanku, tegar hanya dimiliki orang yang merebahkan diri atas kodrat, yang tak dipunyai oleh mereka yang ingin di atas angin. Dengan kata lain, aku harus tegar.Â
Bukan masalah imajinasiku kurang, tapi mayoritas ia menjebak. Aku tidak bisa tegar bila imajinasi merajai masa melamunku. Aku serasa ingin digebu oleh impian yang masih gaib. Ah, tak ada imaji yang abadi, karya pun berubah abu yang siap mengudara, terbang hilang, dan ada saatnya matahari akan dimusnahkan oleh bilangan waktu, sebentar lagi...
Bandung, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H