Toleransi yang dikenal sebagai sikap saling menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan keyakinan individu maupun kelompok, kini menghadapi tantangan. Berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini menunjukkan adanya peningkatan gejala intoleransi antar kelompok masyarakat. Kondisi ini menciptakan suasana tegang yang mengancam dan merusak makna sejati dari toleransi itu sendiri. Baru-baru ini, Parepare menjadi sorotan dalam pemberitaan terkait aksi demonstrasi masyarakat setempat yang menolak pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel. Penolakan tersebut didasarkan pada anggapan bahwa pembangunan sekolah melanggar aturan, terutama karena lokasinya berada di lingkungan mayoritas Muslim dan adanya keraguan terhadap legalitas izinnya. Padahal, sebuah sekolah tentu tidak akan didirikan tanpa memperoleh izin resmi dari pihak pemerintah.
Masalah terkait pendirian sekolah Kristen Gamaliel di Parepare telah menimbulkan perdebatan penting tentang toleransi dan sikap saling menghormati dan beragama. Â Kasus ini menjadi tujuan nyata Indonesia adalah negara yang menghargai keberagaman. Hal ini terlibat dalam UUD 1945 Pasal 31 yang menjamin hak pendidikan untuk semua warga negara tanpa membedakan suku, agama, dan budaya. Namun, penolakan terhadap sekolah Kristen di Parepare menunjukkan bahwa nilai-nilai keberagaman ini belum sepenuhnya diterapkan.
Penolakan terhadap pendirian Sekolah Kristen Gamaliel berawal dari aksi demonstrasi masyarakat Parepare yang dipelopori oleh Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P). Mereka berpendapat bahwa lokasi sekolah yang berada di lingkungan mayoritas Muslim berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Selain itu, mereka mempertanyakan keabsahan izin pembangunan, meskipun pihak yayasan telah menegaskan bahwa semua dokumen administratif sudah lengkap. Dalam responsnya, DPRD Parepare memutuskan menghentikan sementara pembangunan sekolah untuk menghindari potensi konflik horizontal. Keputusan ini menuai kritik, terutama dari kelompok yang mendukung kebebasan beragama dan hak pendidikan. Demonstrasi yang dilakukan tidak hanya melibatkan orasi di depan lokasi pembangunan, tetapi juga melibatkan aksi penyampaian petisi kepada pemerintah daerah. Para demonstran menegaskan bahwa keberadaan sekolah Kristen di lingkungan mayoritas Muslim dianggap tidak mencerminkan "kondusivitas" sosial. Di sisi lain, pihak yayasan sekolah memberikan penjelasan bahwa lokasi pembangunan telah dipilih berdasarkan izin resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat, dan desain operasional sekolah akan mematuhi semua peraturan yang berlaku
Sementara itu, isu ini menjadi perhatian nasional karena adanya potensi bahwa penolakan ini dapat mencerminkan tren intoleransi yang lebih luas di berbagai wilayah di Indonesia. Media sosial pun diramaikan dengan berbagai pendapat pro dan kontra terhadap pembangunan sekolah tersebut, yang semakin memperkeruh suasana.
Beberapa oknum berpendapat bahwa pendirian sekolah tersebut dapat memengaruhi keyakinan anak-anak Muslim yang tinggal di sekitar lokasi. Selain itu, mereka merasa bahwa keberadaan sekolah Kristen di tengah lingkungan mayoritas Muslim tidak sesuai dengan norma sosial setempat. Sebagian pihak bahkan mengkhawatirkan adanya "upaya misionaris" yang bisa memengaruhi generasi muda di wilayah tersebut. Namun, alasan-alasan ini mencerminkan miskonsepsi tentang peran pendidikan sebagai ruang belajar inklusif yang mempromosikan nilai universal tanpa memandang latar belakang agama.
Alasan lain yang sering muncul adalah kurangnya transparansi dalam proses sosialisasi rencana pembangunan sekolah kepada masyarakat sekitar. Kekhawatiran ini semestinya bisa diredakan dengan komunikasi yang terbuka antara pihak sekolah dan masyarakat, bukan melalui aksi penolakan yang merugikan banyak pihak.
Di media sosial, kasus ini memicu diskusi yang hangat. Beberapa pihak mendukung penolakan dengan alasan menjaga harmoni sosial, sementara yang lain mengecam aksi tersebut sebagai bentuk intoleransi yang melanggar nilai-nilai kebebasan beragama. Ada juga komentar yang mengingatkan pentingnya mematuhi prosedur hukum dan regulasi yang berlaku.
Dalam pandangan saya, pendirian Sekolah Kristen Gamaliel seharusnya didukung karena telah memenuhi persyaratan hukum dan berpotensi menjadi ruang pembelajaran yang inklusif. Pendidikan seharusnya menjadi alat pemersatu, bukan pemicu perpecahan. Jika masyarakat memiliki kekhawatiran, dialog terbuka dengan pihak terkait adalah solusi yang lebih baik dibandingkan demonstrasi atau penolakan sepihak.
Kasus ini menunjukkan bahwa pemahaman moderasi beragama di Parepare masih memerlukan penguatan. Moderasi beragama mengajarkan keseimbangan antara menjalankan keyakinan sendiri dan menghormati keyakinan orang lain. Moderasi beragama juga mendorong masyarakat untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Namun, fakta bahwa aksi penolakan ini mendapatkan dukungan dari sebagian masyarakat menunjukkan kurangnya edukasi tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai. Pemerintah dan tokoh agama perlu bekerja lebih keras untuk mempromosikan moderasi beragama melalui pendidikan formal, pelatihan, dan dialog lintas agama yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat.
Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, ada beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh pihak yang ingin mendirikan sekolah agama, yaitu:
- Memiliki izin resmi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kementerian Agama, tergantung jenis sekolahnya.
- Menyediakan kurikulum yang sesuai dengan standar pendidikan nasional.
- Memiliki infrastruktur yang memadai, seperti gedung sekolah, fasilitas pembelajaran, dan tenaga pendidik yang kompeten.
- Menjamin tidak adanya diskriminasi dalam penerimaan siswa atau dalam proses belajar mengajar.
Apa yang terjadi jika kasus ini berlarut larut?
Jika kasus ini dibiarkan berlarut-larut, Parepare berisiko menghadapi konsekuensi serius. Pertama, situasi ini dapat memperdalam polarisasi di antara kelompok masyarakat, memperburuk ketegangan, dan memperbesar potensi konflik horizontal yang dapat mengancam stabilitas sosial. Ketegangan semacam ini akan sulit untuk dipulihkan tanpa upaya signifikan dari berbagai pihak.
Selain itu, dampaknya terhadap generasi muda tidak bisa diabaikan. Anak-anak yang seharusnya menerima pendidikan berkualitas di sekolah tersebut akan dirugikan, dan masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk belajar nilai-nilai toleransi melalui interaksi lintas agama yang sehat. Kerugian ini tidak hanya bersifat lokal tetapi juga berimplikasi pada citra nasional Indonesia sebagai negara yang menjunjung keberagaman.
Sementara itu, jika kasus ini tidak ditangani secara tuntas, pihak-pihak intoleran mungkin merasa diberi ruang untuk terus mengabaikan hukum dan menekan hak-hak kelompok minoritas. Akibatnya, kebebasan beragama, hak atas pendidikan, dan kepercayaan terhadap sistem hukum menjadi terancam.
Untuk mencegah dampak buruk ini, penting bagi pemerintah dan semua pihak terkait untuk mengambil langkah-langkah tegas dan terukur, seperti menyelesaikan konflik melalui dialog yang adil, menegakkan hukum dengan konsisten, dan memperkuat pendidikan toleransi di tingkat lokal maupun nasional.
Lantas bagaimana langkah yang harus dilakukan Tokoh-tokoh Agama, Pendidikan, dan Pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini?
Tokoh Agama: Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya toleransi dan moderasi beragama. Dialog antar umat beragama perlu digalakkan untuk meningkatkan pemahaman dan menghentikan kekeliruan.
Pendidikan: Memasukkan nilai-nilai toleransi dalam kurikulum dan mengadakan kegiatan lintas agama untuk membangun semangat kebersamaan di kalangan generasi muda.
Pemerintah: Bertindak tegas dalam menegakkan aturan hukum dan memastikan bahwa hak setiap warga negara, termasuk hak mendirikan sekolah, terlindungi.
UUD 1945 Pasal 28E menjamin kebebasan beragama, sementara Pasal 31 menegaskan hak atas pendidikan bagi setiap warga negara. Selain itu, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah hak semua warga negara tanpa memandang latar belakang agama. Dalam penyelesaian kasus ini, langkah yang dapat diambil adalah:
- Mediatisasi Konflik: Menghadirkan mediator yang netral untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat setempat dan pihak sekolah.
- Penegakan Hukum: Memastikan bahwa pembangunan sekolah tetap berjalan sesuai peraturan yang berlaku.
- Edukasi Masyarakat: Mengadakan kampanye edukasi tentang pentingnya keberagaman dan hidup berdampingan (toleransi).
Kasus penolakan pendirian Sekolah Kristen Gamaliel adalah ujian nyata bagi komitmen kita terhadap nilai-nilai toleransi dan keberagaman. Pendidikan seharusnya menjadi jembatan yang mempererat hubungan antar kelompok masyarakat, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, semua pihak harus bekerja sama untuk menyelesaikan masalah ini secara damai, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, toleransi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H