Jika kasus ini dibiarkan berlarut-larut, Parepare berisiko menghadapi konsekuensi serius. Pertama, situasi ini dapat memperdalam polarisasi di antara kelompok masyarakat, memperburuk ketegangan, dan memperbesar potensi konflik horizontal yang dapat mengancam stabilitas sosial. Ketegangan semacam ini akan sulit untuk dipulihkan tanpa upaya signifikan dari berbagai pihak.
Selain itu, dampaknya terhadap generasi muda tidak bisa diabaikan. Anak-anak yang seharusnya menerima pendidikan berkualitas di sekolah tersebut akan dirugikan, dan masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk belajar nilai-nilai toleransi melalui interaksi lintas agama yang sehat. Kerugian ini tidak hanya bersifat lokal tetapi juga berimplikasi pada citra nasional Indonesia sebagai negara yang menjunjung keberagaman.
Sementara itu, jika kasus ini tidak ditangani secara tuntas, pihak-pihak intoleran mungkin merasa diberi ruang untuk terus mengabaikan hukum dan menekan hak-hak kelompok minoritas. Akibatnya, kebebasan beragama, hak atas pendidikan, dan kepercayaan terhadap sistem hukum menjadi terancam.
Untuk mencegah dampak buruk ini, penting bagi pemerintah dan semua pihak terkait untuk mengambil langkah-langkah tegas dan terukur, seperti menyelesaikan konflik melalui dialog yang adil, menegakkan hukum dengan konsisten, dan memperkuat pendidikan toleransi di tingkat lokal maupun nasional.
Lantas bagaimana langkah yang harus dilakukan Tokoh-tokoh Agama, Pendidikan, dan Pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini?
Tokoh Agama: Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya toleransi dan moderasi beragama. Dialog antar umat beragama perlu digalakkan untuk meningkatkan pemahaman dan menghentikan kekeliruan.
Pendidikan: Memasukkan nilai-nilai toleransi dalam kurikulum dan mengadakan kegiatan lintas agama untuk membangun semangat kebersamaan di kalangan generasi muda.
Pemerintah: Bertindak tegas dalam menegakkan aturan hukum dan memastikan bahwa hak setiap warga negara, termasuk hak mendirikan sekolah, terlindungi.
UUD 1945 Pasal 28E menjamin kebebasan beragama, sementara Pasal 31 menegaskan hak atas pendidikan bagi setiap warga negara. Selain itu, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah hak semua warga negara tanpa memandang latar belakang agama. Dalam penyelesaian kasus ini, langkah yang dapat diambil adalah:
- Mediatisasi Konflik: Menghadirkan mediator yang netral untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat setempat dan pihak sekolah.
- Penegakan Hukum: Memastikan bahwa pembangunan sekolah tetap berjalan sesuai peraturan yang berlaku.
- Edukasi Masyarakat: Mengadakan kampanye edukasi tentang pentingnya keberagaman dan hidup berdampingan (toleransi).
Kasus penolakan pendirian Sekolah Kristen Gamaliel adalah ujian nyata bagi komitmen kita terhadap nilai-nilai toleransi dan keberagaman. Pendidikan seharusnya menjadi jembatan yang mempererat hubungan antar kelompok masyarakat, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, semua pihak harus bekerja sama untuk menyelesaikan masalah ini secara damai, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, toleransi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H