Setelah geger UU Cipta Kerja, DPR disorot lagi dengan pembahasan RUU MINOL (Minuman Beralkohol). Alih-alih membahas RUU P-KS yang dianggap urgen namun pembahasannya bahkan ditarik dari Prolegnas 2020 ditengah tingginya kasus kekerasan seksual.Â
RUU Minuman Beralkohol diusul oleh 21 orang anggota, 18 orang dari Fraksi PPP, 2 orang dari Fraksi PKS dan 1 orang dari Fraksi Gerindra. Usulan ini diajukan untuk dibahas sejak tanggal 24 februari lalu, namun Badan Legislasi DPR baru menerimanya pada tanggal 17 september lalu dan rapat pembahasan dijadwalkan 10 november kemarin.Â
Dalam paparan usulan RUU Minuman Beralkohol ini, pengusul mengutip surat Al Maidah ayat 90-91 yang arti pokoknya adalah larangan minum (khamr) Dan barang tersebut bisa menjauhkan pelakunya dari Allah karena melakulan pelanggaran aturan. terdapat klausul yang melarang siapa pun memproduksi minol.
Selain memproduksi, juga dilarang memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual minol di Indonesia.
Mereka yang melanggar larangan-larangan di atas akan dipidana penjara minimal dua tahun dan paling lama sepuluh tahun. Sedangkan masyarakat yang mengonsumsi minol akan dipidana penjara minimal tiga bulan dan paling lama dua tahun. (Tirto 13/11/20)Â
Haram dan Harum
 Jika landasan RUU Minol (Minuman Beralkohol) hanya berlandaskan Al Quran yang kita ketahui bersama bahwa Al Quran merupakan pedoman hidup umat Islam, jika aturan itu disamaratakan dan diselenggarakan dalam negara majemuk yang notabene beraneka ragam budaya dan agama, apakah negara ini sedang menjalankan hukum syariah?
Kita tahu bahwa minuman beralkohol memang haram bagi umat muslim, akan tetapi masih banyak di wilayah-wilayah tertentu, minol  dikonsumsi oleh penganut keyakinan dan agama tertentu untuk kepentingan ritual seperti contohnya Bali, Sumatera Utara, hingga Papua.Â
Menyamaratakan hukum dengan dasar landasan hukum dari salah satu agama kemudian diberlakukan untuk semua agama dikhawatirkan akan berpotensi melukai kebhinnekaan Indonesia yang berlandaskan Pancasila yang sudah menjadi konsensus bersama.
 Haram bagi satu pihak tidak serta merta menjadi haram bagi pemeluk keyakinan lain, wangi harum alkohol itu tetap tercium bagi mereka yang menjadikan alkohol sebagai kearifan budaya sebagaimana dalam tradisi Hindu-Budha, tuak dan arak punya posisi penting, sebagaimana yang tampak pada masyarakat Dayak-Kaharingan hingga saat ini, misalnya, yang memiliki minuman Baram.