ISLAM RAMAH DAN ISLAM MARAH;
Mengembalikan Jati Diri yang Terlukai Intoleransi
 Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat di Indonesia dengan perkembangan yang pesat, kini dihadapkan berbagai isu-isu yang didasari dari dan oleh umat Islam itu sendiri. Seiring dengan berkembangnya intrepetasi yang mengakibatkan perbedaan pemahaman dan pandangan. Banyaknya kelompok yang menafsiri aspek-aspek beragama Islam dengan klaim kebenaran mutlak atas pandangan kelompoknya sendiri yang terkadang over dan ditafsiri dengan emosional-tekstual.
 Hadirnya keragaman adalah wajar adanya, Namun, dibalik keberagaman itu, hadir sebuah  kelompok yang ekstrem dan mengklaim bahwa kelompoknya sendiri yang paling benar. Klaim kebenaran mutlak yang didasari secara emosional dan segmentatif, maka akan menimbulkan banyak masalah. Sejarah telah mengabarkan kepada kita bahwa adanay perselisihan, konflik, pertikaian, dan peperangan atas antar komunitas agama baik di kawasan Asia, Afrika, Eropa, maupun Amerika, antara lain merupakan akibat dari klaim kebenaran yang melebar memasuki wilayah sosial, politik, dan budaya yang bersifat praktis-pragmatis. [1]
Gerakan radikalisasi agama, semakin lama semakin massif mempertontonkan aksinya. Banyak kejadian pengrusakan, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan yang disebabkan oleh sentimen agama dan pemahamaan agama secara segmentatif. Kondisi ini jelas tidak sesuai dengan semangat kebangsaan yang menghargai pluralitas dan toleransi, yang menjamin setiap warga negara untuk hidup tenang dan damai dalam menjalankan aktifitas beragama, berbangsa, dan bernegara.Â
Keragaman dan perbedaan pandangan tersebut, Cak Nur dalam hal ini telah mengelompokannya menjadi tiga kelompok. yaitu: (1) kelompok fundamental yang cenderung sangat literal, dan/atau ketaatan formal dan hukum agama diekspresikan dalam bentuk sangat lahiriah semacam simbol/label keagamaan atau gerakan-gerakan keagamaan; (2) kelompok liberal yang lebih mementingkan substansi/isi dari pada label atau simbol-simbol eksplisit dengan memberikan tafsir teks-teks agama secara terbuka; dan (3) kelompok moderat yang lebih menekankan pada pemikiran agama secara toleran dan menghargai perbedaan pemikiran dalam beragama. Kelompok Islam moderat ini sering juga disebut dengan Islam tawasuth atau Islam toleran, yang mencoba mencari penafsiran secara seimbang antara teks-teks kitab suci dengan realitas sosial. [2] Â Â Â Â Â
Kelompok Ekstrem yang Melukai Citra Umat Muslim
Munculnya kelompok-kelompok Islam radikal, mereka hadir dengan membawa simbol dengan nama 'Islam' yang mereka anggap bahwa selain dirinya adalah sesat dan salah, atau yang  lebih ekstrim lagi mereka yang diluar Islam najis dan boleh dibunuh sebab darahnya halal atau semacamnya. Hal inilah yang menciderai citra simbol Islam itu sendiri dengan pemahaman tekstual dan  emosional serta ilmu alakadarnya dalam memahami sebuah simbol besar yaitu agama, terlebih simbol itu adalah Islam yang tidak pernah mengajarkan hal-hal demikian.Â
Pemahaman yang didasari oleh segmentatif, tekstual dan emosional serta taqlid buta terbukti telah melahirkan kelompok-kelompok radikal. Kelompok radikal ekstrem inilah yang kemudian membuat kegaduhan dengan melakukan aksi terorisme dengan dalih jihad membela agama Islam, yang notabene Islam sendiri tidak pernah mengajarkan dakwah ekstrem seperti itu.
Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized) bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (diskriminatif).Â
Menurut fatwa MUI, terorisme hukumnya haram dilakukan oleh siapapun dan tujuan apapun. Dalam fatwa MUI juga dijelaskan perbedaan secara nyata antara terorisme dengan jihad. Jihad sifatnya untuk melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan, tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terdzalimi, serta dilakukan dengan mengikuti aturan yang jelas. Sementara itu, terorisme sifatnya merusak (ifsad) dan anrkhis/xhaos (faudla), tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain, serta dilakukan tanpa aturan yang jelas dan sasarannya tanpa batas. [3]Â
Sejarah mencatat, Islam telah dilukai citranya sebagai agama yang Rahamatn lil Alamin, diantaranya oleh aksi terorisme di Bali pada tahun 2002 yang dilakukan oleh Amrozy bin Nurhasyim sang penggerak utama aksi bom Bali. Amrozi disebut-sebut termotivasi ideologi Islam radikal dan anti-Barat yang didukung organisasi bawah tanah Jemaah Islamiyah. Pada 7 Agustus 2003, ia dinyatakan oleh pengadilan bersalah atas tuduhan keterlibatan dalam peristiwa pengeboman tersebut dan divonis hukuman mati. Namun undang-undang yang digunakan untuk memvonisnya ternyata kemudian dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung pada Juli 2004.Â
Awalnya dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan di Denpasar, ia lalu dipindahkan ke LP Nusakambangan pada 11 Oktober 2005 bersama dengan Imam Samudra dan Mukhlas, dua pelaku Bom Bali lainnya. Sikap Amrozi yang tampak tidak peduli sepanjang pengadilannya membuatnya sering dijuluki media massa The Smiling Assassin (Pembunuh yang Tersenyum). Amrozi dihukum mati pada hari Minggu, 9 November 2008 dini hari.