Pendidikan Masyarakat, Kunci Mengatasi Krisis Pendidikan di Sulawesi Barat
Berdasarkan sumber dari Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pusdatin) yang diakses pada September 2024, angka Anak Tidak Sekolah (ATS) usia 7-18 tahun di Sulawesi Barat terus meningkat. Peningkatannya hingga mencapai 17.705 anak. Angka ini sudah termasuk anak putus sekolah (dropout) dan anak yang lulus tidak melanjutkan. Angka putus sekolah tertinggi pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), sebesar 2.994 anak, disusul jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), 2.617 dan 2.409 pada jenjang Sekolah Dasar (SD). Sementara itu, anak yang lulus tidak melanjutkan pada jenjang SD sebesar 5.030 anak. Angka ini tidak terlalu berbeda signifikan dari jenjang SMP yaitu 4.655.
Angka ATS di Sulawesi Barat yang terus merangkak naik ini menjadi sebuah krisis pendidikan yang mendesak untuk segera diatasi. Data di atas menunjukkan bahwa ribuan anak usia sekolah putus asa mengejar mimpi mereka karena berbagai kendala. Fenomena ini bukan hanya sekadar angka, melainkan cerminan dari permasalahan kompleks yang berakar pada kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kurangnya akses terhadap pendidikan berkualitas. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kondisi pendidikan masih jauh dari tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) untuk menjamin pendidikan berkualitas yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua, pada tahun 2030.
 Mengapa Anak Putus Sekolah?
Beberapa faktor utama yang mendorong tingginya angka ATS di Sulawesi Barat adalah:
- Kemiskinan: Beban ekonomi keluarga memaksa anak untuk lebih memilih bekerja daripada melanjutkan sekolah demi membantu menghidupi keluarga.
- Akses: Kondisi geografis yang sulit dijangkau, terutama di daerah terpencil, menjadi penghalang utama bagi anak untuk menjangkau sekolah formal.
- Norma Sosial: Diskriminasi gender dan pernikahan dini masih menjadi tantangan besar, terutama bagi anak perempuan.
- Kualitas Pendidikan: Kurangnya fasilitas sekolah, tenaga pengajar, dan kurikulum yang relevan semakin memperparah masalah.
Dampak dari krisis pendidikan ini sangat luas dan kompleks, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat dan bangsa. Nantinya, anak putus sekolah ini akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak, memperpanjang siklus kemiskinan, meningkatkan kesenjangan sosial, termasuk kriminal. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan juga akan menghambat pembangunan daerah dan mengurangi daya saing bangsa.
Menggali Lebih Dalam Tentang Peran Masyarakat
Pendidikan bukanlah semata-mata tanggung jawab pemerintah. Setiap individu di masyarakat memiliki peran penting dalam memastikan setiap anak mendapatkan haknya untuk belajar. Studi terbaru menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat (community engagement)dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara signifikan. Dalam Indonesian Journal of Cultural and Community Development (2024) menggambarkan keterlibatan masyarakat sebagai suatu proses kolaboratif antara masyarakat, sekolah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di suatu komunitas. Keterlibatan ini melibatkan berbagai bentuk partisipasi, mulai dari kontribusi sumber daya hingga partisipasi aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan. Masyarakat bisa berkontribusi dalam berbagai bentuk, mulai dari menentukan pembelajaran berdasarkan kebutuhan, menjadi relawan mengajar, memberikan donasi buku dan perlengkapan sekolah, hingga ikut serta dalam pengawasan mutu pendidikan.
Pendidikan formal memang fondasi penting bagi kemajuan individu. Namun, di Sulawesi Barat, kita perlu melampaui pendekatan satu ukuran untuk semua. Banyak anak-anak putus sekolah, mengindikasikan adanya kesenjangan antara kurikulum baku dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Di sinilah pendidikan masyarakat hadir sebagai solusi yang relevan. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam menentukan arah pembelajaran, kita menghormati hak mereka untuk memilih dan mengembangkan potensi sesuai minat dan bakat. Konsep self-determination theory (Decy dan Ryan, 2000) menegaskan bahwa ketika individu merasa memiliki kendali atas pembelajaran mereka, mereka akan lebih termotivasi dan berdaya.
Bayangkan jika setiap desa di Sulawesi Barat memiliki pusat pembelajaran yang fleksibel, menawarkan program-program yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Mulai dari keterampilan pertanian organik, pengelolaan perikanan berkelanjutan, hingga literasi digital. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya sekadar teori di kelas, tetapi menjadi alat untuk memecahkan masalah nyata dan meningkatkan kualitas hidup. Tentu, tantangannya tidak sedikit. Infrastruktur yang memadai, tenaga pendidik yang berkualitas, dan dukungan kebijakan yang kondusif menjadi kunci keberhasilan. Namun, dengan komitmen bersama, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, relevan, dan berpusat pada masyarakat.
Pendidikan Masyarakat, Jembatan Emas bagi Anak Putus Sekolah