[caption caption="Memperingati Hari Bebas Tas Keresek Sedunia, Aktivis Nol Sampah mengajak pengunjung menukarkan tas plastik dengan tas kain di Royal Plaza, Surabaya, Kamis (3/7/2014). Dalam aksi tersebut mereka mengajak masyarakat untuk tidak lagi menggunakan tas plastik karena plastik sulit terurai sehingga merusak lingkungan. Bulan depan pemerintah memulai program pembatasan kantong plastik di sejumlah kota/kabupaten di Indonesia. (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)"][/caption]Terhitung sejak 21 Februari lalu, bersamaan dengan Hari Peduli Sampah Nasional, pemerintah memberlakukan kebijakan baru. Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta berdasarkan Surat Edaran Nomor SE-06/PSLB3-PS/2015 tentang Langkah Antisipasi Penerapan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar pada Usaha Ritel Modern, pemerintah secara resmi menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar di pasar-pasar modern di Indonesia.
Kebijakan ini sebenarnya tidak begitu saja dilakukan. Pemerintah telah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan, Surat Edaran (SE) mengenai hal ini telah ditandatangani pada 17 Desember 2015 meski baru diberlakukan pada 2016 ini. Dalam penetapan ini, pemerintah memutuskan untuk mewajibkan konsumen yang berbelanja di pasar modern untuk membayar setidaknya Rp 200,- untuk mendapatkan satu kantong plastik. Tidak lain kebijakan ini diterapkan untuk menekan jumlah penggunaan plastik di Indonesia.
Memang saat ini Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah penggunaan plastik terbesar. Tentu saja ini disebabkan oleh angka populasi penduduk yang tinggi. Ada korelasi di antara kedua hal ini. Jumlah penduduk yang besar disertai dengan perilaku konsumtif menjadi faktor yang sangat wajar penyebab pemakaian plastik di Nusantara ini sangat tinggi.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tentu tidak dapat berdiam diri melihat hal ini. Oleh karena itu, kebijakan kantong plastik berbayar ini diberlakukan. Tentu saja keputusan ini diwarnai dengan pro dan kontra dari masyarakat. Nah, berikut ini adalah 10 tanggapan terpilih dari Kompasianer yang diambil dari topik pilihan Kantong Plastik Berbayar.
1. Plastik Berbayar, Sebuah Kebijakan ala Rokok
Jimin Andri Sarosa melihat ada persamaan antara kebijakan kantong plastik berbayar ini dengan kebijakan untuk mengurangi konsumsi rokok. Konyol adalah kata yang tepat untuk mencerminkan kebijakan ini. Menurutnya, pemerintah secara arogan mengorbankan masyarakat (konsumen) untuk membayar, padahal pemerintah tidak memiliki solusi alternatif. Alhasil, segala kebijakan yang dibuat menjadi mubazir.
2. Mengubah Perilaku Konsumsi melalui Kantong Plastik Berbayar
[caption caption="Seorang pramuniaga mengajak pengunjung untuk diet kantong plastik. Sumber: kompas.com"]
[/caption]Berbeda dengan Jimin, Safendrri Ragamustari memiliki pendapat yang berbeda. Keputusan pemerintah ini memang menuai pro dan kontra tapi tentu saja tujuan akhirnya adalah mengurangi volume penggunaan plastik. Safendrri menilai saat ini manusia, khususnya di Indonesia, sudah tidak lagi peduli akan kondisi bumi. Membuang sampah sembarangan seolah menjadi norma yang wajar. Dengan pemberlakuan aturan ini, ia menilai secara langsung dan mau tidak mau masyarakat selalu diingatkan untuk berpikir ulang mengenai pola konsumsi sehari-hari. Dengan begitu, secara perlahan masyarakat dapat mengubah perilaku konsumsinya melalui kebijakan ini.
3. Kurangi Plastik, Korbankan Pohon(?)
Ketika peraturan ini mulai diberlakukan, ada banyak cara yang dilakukan pelaku bisnis pasar modern untuk tetap melayani pelanggannya. Salah satunya adalah mengganti plastik dengan kardus bekas untuk pelanggan yang berbelanja dalam jumlah cukup besar. Indra Furwita menyatakan bahwa kebijakan ini seperti dua mata pisau yang tajam. Ketika plastik dikurangi penggunaannya, bahan lain seperti kertas atau kardus malah diperbanyak.
Padahal, bahan baku pembuat material tersebut adalah kayu atau pohon. Secara tidak langsung kebijakan ini selain menekan penggunaan plastik, justru malah mematikan banyak pohon. Kendati demikian, ia optimistis akan banyak industri kreatif yang memanfaatkan momentum ini. Bisa saja muncul kantong belanja multifungsi dengan desain yang kreatif dan bermanfaat.
4. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, Cari Muka sama Jokowi
[caption caption="Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Sumber: Kompas.com"]
[/caption]Kompasianer Mawalu mengungkapkan unek-uneknya soal kebijakan ini. Ia menilai pemberlakuan kebijakan kantong plastik berbayar ini merupakan manuver Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya untuk selamat dari isu reshuffle yang akan dilakukan Presiden Jokowi saat itu. Menurutnya, jika ingin mengurangi pemakaian kantong plastik, ada alternatif lain yang bisa dilakukan, seperti membuat kantong plastik yang ramah lingkungan dan dapat di-recycle dalam tempo waktu yang tidak lama.
5. Kantong Plastik Berbayar: Harga Terlalu Murah, Mestinya Patok Harga Mahal dan Diikuti Sosialisasi Terus-menerus
Saat ini harga yang dipatok untuk setiap kantong plastik adalah Rp200,00 memang terbilang cukup murah. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Suci Handayani Harjono. Ia menilai, program kantong plastik berbayar sejatinya dapat menekan penggunaan kantong plastik di Indonesia. Namun, ada pertanyaan apakah program tersebut bisa bertahan lama?
Harga Rp 200,- adalah nominal yang tidak begitu mahal, apalagi kebijakan ini diterapkan di pusat perbelanjaan atau ritel modern yang notabene pembelinya adalah orang-orang menengah ke atas. Suci mengatakan kondisinya akan berbeda jika satu kantong plastik dibanderol dengan harga yang lebih mahal, misalnya Rp5.000,00. Hal ini mungkin akan membuat masyarakat, baik kalangan menengah atas maupun bawah untuk berpikir ulang menggunakan kantong plastik.