Entah aku yang gagal paham atau pemberlakuan itu aturan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Edarannya yang bernomor S.71/Men LHK–II/2015 terkait kantong plastik berbayar Rp 200 (plus PPN 10%) yang mengada-ada tak jelas juntrungannya itu, yang jelas bete banget aku semalam habis belanja di Supermarket disuruh bayar 200 perak per kantong plastik.
Biasanya selama ini barang belanjaan langsung dimasukkan ke kantong plastik tanpa ba bi bu dan banyak cingcong, tapi ini si Kasirnya malah nanyain aku mau pakai kantong plastik apa enggak? Kalau pakai kantong plastik, harus bayar 200 rupiah per kantong.
Jelas saja aku naik pitam, gila lu ya barang belanjaan banyak begini pake nanya segala mau pakai kantong plastik apa enggak, masa aku harus bungkus pakai celana dalam aku?
Bikin kaget saja kantong plastik kok suruh konsumen yang bayar. Sejak kapan? Barang enggak guna gana begitu malah dibebani ke konsumen. Reseh nih Supermarket mau nyari untung saja. Si Kasir itu bilang katanya itu aturan baru dari Pemerintah, tujuannya untuk mengurangi pemakaian kantong plastik yang merusak lingkungan.
Ya jelas saja aku tetap bete, coba pembaca bayangkan, kalau barang belanjaan kita banyak sudah berapa duit itu kita harus bayar kantong plastik? Bukan masalah 200 perak saja protes, tapi itu kan duit, biar kata orang cuma koin 200 perak doang, memangnya gampang nyari duit?
Manuver Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, ini sepertinya mau cari muka sama Jokowi supaya selamat enggak kena embat di-reschuffle untuk menebus dosanya lantaran kegagalannya dalam hal kebakaran hutan yang heboh dulu itu.
Kalau mau mengurangi pemakaian kantong plastik yang merusak lingkungan,, ya bikin dong kantong plastik yang ramah lingkungan yang bisa terurai atau mudah d-irecycle (daur ulang) dalam tempo waktu yang tak lama. Masa enggak bisa? Masa dari 250 juta orang Indonesia, enggak ada satu Ilmuwan pun yang dapat melakukannya?
Masa kita harus nenteng-nenteng kantong plastik bekas ke Mall, kan enggak lucu itu. Malu-maluin saja macam orang susah saja. Orang tuh ya kalau ke Mall niat awalnya bukan untuk belanja, paling jalan-jalan dan cuci mata doang. Pas iseng-iseng masuk Supermarket, jadinya ya belanja karena keingat ada yang harus dibeli. Kecuali niat awal dari rumah mau belanja, tapi tetap saja malu lah kita nenteng-nenteng tas kresek bekas dari rumah sambil jalan-jalan ke Mall.
Memang sih ya sampah kantong plastik per orang di Indonesia itu sekitar 700 kantong per tahun, dan jumlah sampah plastik di Indonesia mencapai 26.000 ton per hari dengan total 100 milyar kantong plastik sampah per tahunnya di Indonesia. Untuk di Jakarta ini saja, jumlah sampah kantong plastik setiap hari mencapai 6,000 ton.
Namun pertanyaannya, apakah dengan membayar per kantong plastik 200 perak itu akan mengurangi pemakaian dan kebutuhan orang akan kantong plastik? Logika dari mana itu, ibu Menteri yang terhormat? Tentu saja mission imposible itu, setidaknya berdasarkan fakta-fakta berikut ini;
- Orang malas nenteng-nenteng kantong plastik dari rumah ke Supermarket, Mini Market atau pusat perbelanjaan lainnya. Orang Jakarta (aku ambil sample Jakarta karena aku hidup di kota ini) rata-rata penganut pola hidup praktis, malas yang ribet-ribet, malas nenteng-nenteng kantong plastik bekas dari rumah ke pusat perbelanjaan, hanya bikin susah diri saja.
- Orang akan tetap bayar mau berapapun harga yang dipatok per kantong plastik, ya karena alasan itu tadi, malas nenteng-nenteng tas kresek bekas dari rumah. Kecuali dipatok 100 ribu rupiah per kantong plastik, itu baru orang akan berpikir seribu kali untuk bayar kantong plastik. Tapi itu namanya mau cari ribut.
- Pihak Supermarket atau Mini Market, berpotensi akan melakukan penyalahgunaan transaski mata uang yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan, yaitu jika tak ada uang kembalian, maka kembaliannya pakai kantong plastik saja, seperti yang selama ini dilakukan kembalian uang receh dengan permen itu.
Memang rada-rada aneh kok pemerintah saat ini. Jaman lagi susah begini, apa-apa pada mahal, ini malah palak rakyat sendiri. Kebijakan ini sama persis dengan aturan pemberlakuan penggunaan mata uang Rupiah untuk semua jenis transaksi di negeri ini dengan tujuan untuk penguatan rupiah, tapi nyatanya apa, rupiah tetap keok juga, kadang naik, kadang turun, macam yoyo saja.