Dalam dunia militer, logistik merupakan salah satu unsur yang kegiatannya merupakan faktor pendukung terhadap pertempuran dan peperangan. Dengan demikian, sukses atau tidaknya pertempuran ditentukan pula oleh kemampuan dalam memberikan logistik untuk operasi militer, lebih-lebih lagi kalau operasi cukup besar dan melibatkan ratusan anggota pasukan yang menggunakan peralatan, makanan, bahan bakar, termasuk suku cadang. Sesuai dengan motto yang terkenal dalam dunia militer yaitu “Logistik tidak memenangkan pertempuran, tetapi tanpa logistik pertempuran tidak dapat dimenangkan”, maka dukungan logistik yang tepat dapat menjamin keberhasilan suatu tugas operasi.
Sebelum dilaksanakannya operasi pemeliharaan perdamaian, maka terlebih dahulu diawali dengan kegiatan penyusunan nota kesepahaman (MoU) antara pihak Troop Contributing Country (TCC) yaitu negara pengirim pasukan dan pihak UN DPKO. MoU tersebut selain berisi tentang tugas pokok dan aturan pelibatan, juga berisi tentang tentang jenis materiil peralatan yang akan dibawa ke daerah operasi.
Materiil peralatan yang dikirimkan ke daerah operasi menggunakan sewa basah atau wet lease arrangement, yang artinya Pemerintah Indonesia dalam hal ini TNI bertanggung jawab untuk menyediakan materiil peralatan, suku cadang dan sekaligus melaksanakan pemeliharaan materiil peralatan tersebut. Di dalam MoU juga tercantum indeks reimbursement setiap jenis materiil peralatan baik untuk kategori Major Equipment maupun kategori Self Sustainment. Nilai reimbursement akan ditentukan berdasarkan jumlah materiil peralatan yang operasional atau serviceable dalam periode tertentu.
Standar keberhasilan dari dukungan logistik yang dilakukan oleh TNI pada operasi pemeliharaan perdamaian salah satunya ditentukan dari hasil COE Inspection oleh Tim PBB yang dilakukan setiap tiga bulan sekali. Persentase kelulusan COE inspection dalam satu periode merupakan keberhasilan secara umum dalam bidang dukungan logistik karena dalam pelaksanaan inspeksi ini tim pemeriksa menggunakan standar yang telah ditentukan PBB. Standar ini diberlakukan secara umum kepada semua negara dan diatur sedemikian rupa dengan memperhitungkan faktor risiko keamanan, iklim dan cuaca, tingkat inflasi ekonomi serta kebutuhan operasional Satgas.
Kesiapan operasional
Dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas pokok Satgas Yonmek TNI, maka dibutuhkan suatu tingkat kesiapan operasional yang baik. Kesiapan operasional tersebut hanya dapat terwujud melalui kegiatan dukungan logistik yang baik pula. Namun masih ditemukan bahwa kegiatan dukungan logistik yang dilakukan terhadap Satgas Yonmek TNI di Lebanon belum dapat terlaksana secara optimal, hal ini terbukti dengan masih terjadinya deduksi/pengurangan jumlah reimbursement yang dibayarkan oleh PBB kepada negara Indonesia sebagai akibat dari beberapa materiil peralatan Satgas Yonmek TNI yang dinyatakan tidak operasional/tidak lulus saat dilaksanakan COE inspection oleh Tim Inspeksi dari PBB.
Materiil peralatan tersebut dinyatakan tidak operasional dikarenakan rusak ataupun tidak berfungsi sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh PBB. Dalam COE manual diatur bahwa suatu materiil peralatan dinyatakan unserviceable dengan ketentuan apabila dalam 1 x 24 jam setelah dicek oleh Tim inspeksi COE, Satgas tidak dapat memperbaikinya maka dalam 1 periode (3 bulan) kendaraan tersebut dinyatakan unserviceable.
Sesuai aturan PBB yang tertuang dalam Contingent-Owned Equipment (COE) manual 2020, dimana jika tingkat kesiapan operasional materiil peralatan dibawah 90%, maka PBB akan mengurangi dana reimbursement sesuai indeks materiil peralatan yang tidak lulus saat inspeksi tersebut (UN General Assembly, 2020).
Hal ini tentu akan merugikan TNI, karena dana reimbursement yang diterima dari PBB merupakan dana yang akan digunakan untuk membiayai pengadaan dan pengiriman logistik ke daerah operasi dalam rangka menjaga kesiapan operasional Satgas. Semakin berkurangnya dana reimbursement yang diterima oleh TNI akan berpengaruh terhadap tingkat kesiapan operasional Satgas.
Belum optimalnya kesiapan operasional tersebut juga disebabkan oleh pelaksanaan dukungan logistik, terutama materiil peralatan dan suku cadang yang belum tepat waktu, dimana proses dukungan logistik mulai dari proses pengadaan sampai dengan proses pengiriman ke daerah operasi yang masih memakan waktu cukup lama.
Dukungan logistik yang belum dapat menjawab kebutuhan operasi akan berakibat pada terhambat nya kegiatan operasi Satgas dalam menjalankan tugas pokoknya. Selain itu sebagai akibat dari lemahnya dukungan bekal ulang akan berakibat pada menurunnya masa pakai alat karena kerusakan yang tidak tertangani dengan baik.