Kiai dan rakyat ibarat ikan dan airnya. Keduanya tak terpisah, juga melekat satu sama lain. Relasi kedekatan diantaranya merupakan hasil pergulatan yang panjang para Kiai dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia.
Clifford Geertz (1960) pernah menyebut peran Kiai sebagai 'cultural broker' dalam masyarakat Indonesia. Istilah tersebut merujuk pada  keterlibatan Kiai dalam seluruh urusan sosial, ekonomi, politik dan budaya di masyarakat. Artinya, dalam konteks ini Kiai menjadi penghubung sekaligus yang bisa masuk dalam semua kalangan.
Peran tersebut menempatkan para Kiai, meski lahir dalam tradisi keilmuan yang ketat dalam pesantren, namun tidak lantas hanya berdiri di menara gading dan menikmati berkah otoritas keagamaannya. Sebaliknya, mereka justru hidup di tengah-tengah 'bumi manusia' dengan segala kompleksitas permasalahannya.
Sejarah munculnya Kiai dalam struktur kelas masyarakat di Indonesia ini memang tidak terlepas dari kontribusi mereka di masa lalu. Di zaman revolusi kemerdekaan, bahkan jauh sebelum itu, Kiai tampil sebagai pembaharu sosial, yang turut membedakan dirinya dengan kelas lain, semisal raja dan para priyayi.
Kiai merupakan satu-satunya kelas sosial yang hidup langsung berdekatan dengan penderitaan rakyat. Makanya mereka (Kiai) banyak disukai rakyat, sekaligus dimusuhi pihak kolonial.
Dalam beberapa momen, seperti pemberontakan di Banten 1888, Kiai mutlak menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap penindas yang berada di pihak kolonial. Di titik ini, para Kiai adalah panglima dan garda terdepan harapan rakyat.
Pasca kemerdekaan, Martin Van Bruinessen (1994) menunjukkan peran aktif Kiai dalam politik. Perjuangan Kiai dalam politik praktis ini turut mewarnai peletakan dasar negara dan arah Indonesia ke depannya. Diakui atau tidak, lahirnya Pancasila dan UUD 1945 tak lepas dari kalangan Kiai, melalui partai-partai yang terafiliasi kuat dengan para kiai pesantren.
Proses sejarah tampilnya Kiai sebagai kelas sosial ini tentu berpengaruh kuat dalam membentuk pola relasi Kiai-Rakyat di Indonesia hingga hari ini. Dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik, para Kiai kerap tampil untuk menjembatani rakyat.
Konteks sejarah seperti itulah yang kemudian turut mendorong perjuangan KH. Ma'ruf Amin berpolitik, mendirikan pesantren yang terbuka dan gratis untuk seluruh kalangan, menggagas perekonomian syariah, mewacanakan 'Arus Baru Ekonomi Indonesia' dan penguatan koperasi, dan terus menerus mengetengahkan gagasan ke-Indonesiaan dan ke-Islaman hingga masa tuanya kini.
Seluruh pergulatan pemikiran dan aktivitasnya itu merupakan titik temu dari seluruh kepentingan masyarakat. Ia berjuang, tak lain untuk kemaslahatan rakyat dalam pengertian yang seluas-luasnya. Â
Oleh karena itu, meskipun kampanye Pemilu telah digelar, Kiai Ma'ruf tak mau turut dalam kampanye slogan kosong 'merakyat' sebagaimana kandidat lainnya. Ia tak perlu 'ngegas' mengaku paling merakyat di hadapan masyarakat.