Mohon tunggu...
Mahmud Budi Setiawan
Mahmud Budi Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Guru Ngaji Kampung

Pemburu Makna dalam Perjalanan Sunyi Menuju Cahaya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Islam & Nusantara

29 Juni 2015   20:19 Diperbarui: 29 Juni 2015   20:36 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wakil Mangkulangit(Kontra Islam Nusantara)

              Muhammad Salman Al-Farisi mengawali, “Bagi kami, gagasan Islam Nusantara sangat absurd dan tidak jelas. Yang perlu diperjelas sebenarnya sebelum melebar kemana-mana ialah kajian serius secara lingustik. Bagaimana pun juga bahasa lahir dari kesepakatan. Jadi tidak bisa setiap individu memaknai kata dengan semaunya sendiri. Islam sendiri jelas adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasalla. Selama beliau berdakwah tidak sekalipun ada embel-embel Arab, walaupun beliau dari Arab. Sedangkan yang dimaksud nusantara itu siapa, apa, dan yang bagaimana? Kata nusantara sendiri berasal dari bahasa sansekerta NUSWANTARA. Sejak kapan dan apa ukuran orang disebut nusantara? Penyebutan Islam nusantara di samping sarat dengan relativisme, ia juga akan mengotak-ngotakkan Islam. Nantinya akan memicu adanya Islam Arab, Islam Rusia, Islam Amerika dan seterusnya. Akibatnya jelas, islam jadi gado-gado dan tak jelas.”

            Ahmad Fathul Mun`im lebih mendasar memaparkan, “Kami lebih setuju Islam yang rahmatan lil `alamin. Islam Nusantara hanya akan membatasi Islam pada wilayah tertentu. Secara bahasa juga lebi mencakup Islam rahmatan lil `alamin daripada Islam Nusantara. Kemudian, mengapa Islam Nusantara dipertentangkan dengan Islam Arab atau Timur Tengah? Apakah bijaksanan menilai Islam dengan perilaku buruk pemeluknya? Kalau pemeluknya berbuat salah, yang salah agamanya apa pemeluknya? Sudahkan diadakan penelitian yang memadai bahwa Islam Timur Tengah pasti keras dantidak toleran? Kita tidak bisa mengeneralisir, tanpa ada bukti-bukti yang jelas. Jadi menurut saya yang pas ialah Islam di Nusantara atau Muslim Nusantara.”

            Masyhud Zaki lebih menukik mengkritisi, “Apakah benar ulama yang disebut sebagai penggagas Islam Nusantara tadi itu seteril dari Arab? Secara budaya saja mereka tidak bisa lepas dari Arab kok. Guru-guru syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Hasyim Asy`ari, dll itu kebanyakan orang mana? Emang Imam Asy`ari, Maturidi dan Syafi`i dari Nusantara ya? Kemudian, nama-nama mereka dari Arab apa Nusantara(seperti: Hasyim Asy`ari, Yusuf, Nawawi, dll)? Jadi, kami pikir kalau Islam Nusantara berangkat dari sentimen budaya, maka gambaran Islam Nusantara yang dikatakan lembut, ramah budaya hanyala utopis karena menegasikan budaya lain. Padahal take and give, pengaruh memengaruhi antar-budaya adalah sangat wajar terjadi. Jadi mengonfrontasikan antara Islam Arab dan Islam Nusantara adalah tindakan yang gegabah dan bermuatan politis.”

            Ali Syahrudin menggarisbawahi, “Kalau dikatakan bahwa yang masuk Islam Nusantara adalah golongan tertentu dan diasosiasikan pada ideologi tertentu(seperti: berideologi Maturidi, Asya`ri, bermadzhab Syafi`i dan bercorak sufi), maka ini sangat ngawur dan gegabah. Kita tahu bawa seperti Tuanku Imam Bonjol ia juga disebut pahlawan meskipun berideologi `wahabi’ dan bermadzhab Hanbali, demikian juga kaum padri. Bahkan di awal abad dua puluh, para pembaharu yang lahir dari organisasi Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad sangat berjasa besar dalam berjuang di nusantara. Padahal mereka diidentikkan berideologi Wahabi dan bermadzhab Hanbali. Jadi, mengapa penamaan Islam Nusantara hanya didominasi oleh kelompok tertentu? Bukankah ini akan memicu perpecahan umat? Di samping itu, ternyata di tubuh oraganisasi NU sendiri, istilah Islam Nusantara masih menuai ketidak setujuan, sebagaimana pendapat Kh. Hasyim Muzadi, dan Pesantren Sidogiri.”

            Syamsul Arifin, mengakhiri, “Bau JIL(Jaringan Islam Liberal) sangat menyengat pada gagasan Islam Nusantara. Mereka bermetomorfosa menjadi JIN(Jaringan Islam Nusantara). Bagaimana tidak, Islam hanya diambil sisi toleran dan lembut saja tanpa menimbang mana ajaran ushul dan mana ajaran yang furu`. Semuda di-gebyah uyah, digeneralisir, yang Nusantara mesti bagus, yang Arab pasti keras. Kadang-kadang kami heran sama mereka. Di satu sisi menyerukan pentingnya toleransi dan menghormati pendapat pihak lain, namun diam-diam mereka menjunung tinggi kepongahan diri dengan menganggap bahwa Wahabi keras, intoleran, kasar. Padahal secara tidak sadar, mereka mengaku dirinya paling benar. Ini namanya otoritarianisme yang dibalut dengan baju toleransi. Belum lagi ada ungkapan dari pimpinan JIL, yang menyatakan bahwa Islam Nusantara sangat menghormati Syi`ah, semakin memperjelas benang merah antara JIN dan JIL. Dengan beberapa pertimbangan itu, kami tidak setuju.”

 

Oase

            Diskusi yang awalnya tegang dan penuh amarah, menjadi tenang ketika dimoderatori oleh Sarikhuluk. Mereka duduk bersama, salang mengklarifikasi, dan berendah hati. Gojekan-gojekan dan joke Sarikhuluk membuat mereka semakin tenang. “Dolor-dolor aku sudah mendengar alasan dari masing-masing pihak. Aku sendiri bukan mau mendukung yang satu maupun yang lain. Aku hanya mengajak kalian berfikir dengan jernih dan murni tanpa ada tendensi apa pun. Pertama, ide ‘Islam Nusantara’, pertama kalian dapat, memangnya dari mana? Media `kan? Lha siapa memangnya yang punya media? Yang punya media itu pihak yang suka Muslim bersatu atau sebaliknya? Pengetahuan kalian tentang gagasan ‘Islam Nusantara’ berasal dari pengetahuan yang udzunul yaqin(hanya dengar dari orang), ilmul yaqin(sekadar tau), `ainal yaqin(benar-benar lihat dengan mata kepala sendiri) atau haqqul yaqin(tahu sejatinya)? Kita secara ndak sadar menghabiskan energi dengan istilah yang diramaikan media,”

            “Kedua, mengapa ajaran tabayyun(klarifikasi) dalam Islam tidak dijalankan. Kalau memang ada ketidaksetujuan, mengapa kalian tidak mengadakan pertemuan saja di tempat tertentu. Supaya tidak saling su`udzan(bersangka negatif). Kalau saling pukul, serang, caci-maki di media, itu bukan meredakan masalah, tapi memperkeruh masalah. Wong berita aja dapatnya dari media, langsung dengan yakinnya menghakimi pihak lain. Ini berlaku pada masing-masing pihak. Aku kemarin baru membaca klarifikasi di situs www.m.nu.or.id , ada Kh Afifuffin Muhajir yang menjelaskan bahwa yang dimasksud Islam Nusantara adalah hanya pada ranah syariat yang ijtihadi yang memungkinkan untuk berubah dan dinamis. Sedangkan wilayah Akidah dan akhlak sifatnya permanen dan tidak ada perubahan. Jadi kalau begini sudah jelaskan.”

            “Ketiga, hati-hati dengan isu apa pun yang sedang santer khususnya bila dikaitkan dengan Islam atau umat Islam. Dibalik isu pasti ada yang mendalangi. Ada udang di balik batu. Potensi umat Islam Indonesia sebenarnya begitu besar. Banyak sekali yang tidak senang jika kita bersatu. Maka saranku kalian jangan mudah termakan isu. Ayo longgo(duduk) bareng-bareng mendiskusikan dengan teduh jika memang ada masalah. Aku jadi teringat Kanjeng Nabi, ketika beliau selalu meredam potensi konflik. Kalau ada yang mengadudomba dua pihak beliau pasti meng-ishlahkan mereka, kaum Anshar yang dulunya terdiri dari kabilah Aus dan Khazraj berpuluh-puluh tahun konflik, dengan datangnya nabi mereka bisa bersatu. Suatu saat Abdullah bin Ubay bin Salul mau memecah belah kalangan Aus dan Khazraj, dengan sigap beliau mendamaikan mereka. Begitulah yang dicontohkan kanjeng nabi.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun