Di sekolah, selain menjadi tenaga pendidik, seorang guru juga diberikan tugas tambahan yang berbeda-beda. Ada yang mendapat tugas sebagai wakil kepala sekolah yang membidangi kurikulum, kesiswaan, humas, sarana dan prasarana.Â
Tugas tambahan yang paling banyak diemban oleh guru adalah menjadi wali kelas. Wali kelas sebagai pendidik yang diberikan kepercayaan sekaligus surat keputusan untuk menjadi pendamping khusus kelas yang menjadi perwaliannya.Â
Dia bertanggung jawab mengontrol anak walinya, memastikan mereka hadir setiap hari, mengecek daftar hadir, mengatur ruang kelas agar semakin nyaman, dan berbagai macam lainnya.
Wali kelas juga menjadi pembimbing, motivator, mentor, sekaligus sebagai kawan bagi peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya. Wali kelas harus tegas pada waktu tertentu, "kejam" pada waktu yang lain, dan menjadi melankolis pada waktu yang berbeda.
Lalu, mengapa wali kelas itu menjadi asyik. Ada beberapa alasan, sesuai pengalaman penulis yang sejak terangkat di tahun 2009 hingga kini tidak pernah alpa menjadi wali kelas.
Selalu muda
Hmmm.... Seorang guru setiap hari pasti bertugas untuk mengajar dan mendidik. Dari satu kelas ke kelas berikutnya. Biasanya, sebelum masuk ke kelas untuk menyampaikan materi, wali kelas akan mampir ke anak perwaliannya.Â
Nah, di sana dia akan menjumpai anak walinya dengan senyum paling indah. Bayangkan jika Anda menjadi wali kelas dan datang pagi-pagi langsung cemberut kemudian marah-marah.Â
Mungkin anak wali yang duduk paling belakang akan berteriak, "Senyum dong Pak/Bu biar selalu terlihat awet muda." Betul, Kan. Jika Anda sebagai wali kelas setiap hari menjumpai mereka dengan senyuman dan sentuhan kebaikan, yakinlah anak wali Anda akan tumbuh menjadi anak yang sesuai harapan dan pastinya, Anda juga akan selalu terlihat muda. Tidak percaya, yuk praktikkan lalu Anda menuju ke depan cermin. Tersenyumlah.
Bertemu dengan banyak wajah dan karakter
Seorang wali kelas mendampingi anak walinya maksimal satu tahun. Di sekolah saya masih menganut pergantian tingkatan otomatis pergantian wali kelas. Tidak ada kelas yang hingga dua tahun ditangani oleh wali yang sama.Â
Secara otomatis pula, wali kelas akan bertemu dengan wajah-wajah baru. Coba Anda hitung sudah berapa tahun menjadi wali kelas. Misalnya saya, 11 tahun menjadi wali kelas.Â
Artinya sudah ada 11 kelas yang pernah saya damping. Jika secara normal setiap kelas di SMA diisi sebanyak 36 orang, artinya sudah 395 wajah baru yang saya pernah hadapi.Â
Bayangkan, jika Anda menjadi wali kelas selama 30 tahun atau lebih. Berapa wajah-wajah baru yang akan kalian temui dan yakin suatu saat nanti akan bertemu lagi.Â
Pastikan mereka mengingat wajah Anda sehingga ketika Anda pensiun nanti mereka masih mengenal wajah-wajah Anda sebagai "mantan" wali kelasnya
Selain wajah-wajah baru, wali kelas juga akan bertemu dengan jumlah karakter sesuai dengan jumlah anak perwaliannya. Bukan hal mudah memahami dan menerima karakter mereka.Â
Bayangkan, anak saja di rumah yang mungkin jumlahnya hanya 2,3,4, atau mungkin paling banyak 10 orang. Jika mereka melakukan sesuatu yang tidak semestinya, bagaimana respons kita sebagai orang tua.Â
Nah, jika menjadi wali kelas, harus memahami 36 karakter beragam dalam satu tahun. Apa jadinya jika kita memaksakan karakter itu sesuai dengan kehendak sebagai wali kelas.Â
Bagaimana upaya yang harus dilakukan agar karakter yang beragam itu bisa berjalan beriringan dalam satu kelas selama satu tahun. Setiap wali kelas pasti punya pengalaman yang berbeda-beda.
Menjadi motivator ulang
Bukankah seorang wali kelas setiap hari berceramah di depan kelas? Apalagi jika ada kejadian yang menghebohkan di kelas. Misalnya, yang alpanya terlalu banyak. Ada yang sering bolos. Banyak yang melanggar tata tertib sekolah. Ada kedapatan merokok di WC sekolah. Ada yang sering terlambat. Beserta ratusan deretan kejadian yang seharusnya tidak kita harapkan sebagai wali kelas.Â
Jika hal itu terjadi, coba Anda sebagai wali kelas mengingat bagaimana gaya Anda berbicara di depan kelas.Â
Apakah gaya dan komunikasi Anda sudah mirip Mario Teguh? Atau gaya berbicara Anda tegas berbobot dan menusuk layaknya Najwa Shihab? Atau mungkin wali kelas yang sempat membaca, masing-masing memiliki gaya terkeren sambil berceramah di depan kelas.Â
Bukankah semua kesempatan menjadi motivator itu tidak akan Anda dapatkan jika tidak menjadi wali kelas. Sekarang, cobalah sesekali rekam ketika Anda sedang berfatwa di depan murid-murid yang ceria sebagai anak wali Anda.
Selalu Mendapatkan kado
Keasyikan yang keempat ini selalu saya rasakan. Mungkin juka Anda. Menjadi wali kelas itu, betapapun seringnya marah, eh, juga selalu mendapatkan kado dari anak perwaliannya.Â
Saya, minimal mendapatkan kado 4 kali dalam setahun. Dua kali saat penerimaan rapor, sekali saat perayaan hari guru, dan anak wali saya juga selalu memberikan kado saat ulang tahun saya tiba. Padahal saya tidak pernah memberikan info tanggal lahir saya.Â
Kado dari anak wali juga beragam. Pernah mendapatkan pakaian. Gelas romantis juga biasa. Tas, dompet, sepatu. Makanan? Jangan ditanya. Ini kado yang paling sering diberikan kepada wali kelas.Â
Di masa pandemi, bertepatan dengan ulang tahun saya, anak perwalian memberikan kado sekardus masker. Jadilah masker itu saya gunakan dan belum habis hingga kini. He..he.. belum lagi ketika Anda menjadi wali kelas XII. Pasti kadonya akan lebih banyak.Â
Untung saja kita di Indonesia. Coba saja kita menjadi wali kelas atau guru di luar negeri. Di luar negeri, aturan batas hadiah yang boleh diterima oleh guru dari siswa atau orang tua siswa diatur dalam undang-undang pendidikan mereka.
Kawan pembaca, cukup empat yang saya tuliskan, ya! Jika Anda sebagai wali kelas, silakan tulis keasyikan lainnya, lalu unggah di Kompasiana. Saya pasti akan membacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H