Seorang wali kelas mendampingi anak walinya maksimal satu tahun. Di sekolah saya masih menganut pergantian tingkatan otomatis pergantian wali kelas. Tidak ada kelas yang hingga dua tahun ditangani oleh wali yang sama.Â
Secara otomatis pula, wali kelas akan bertemu dengan wajah-wajah baru. Coba Anda hitung sudah berapa tahun menjadi wali kelas. Misalnya saya, 11 tahun menjadi wali kelas.Â
Artinya sudah ada 11 kelas yang pernah saya damping. Jika secara normal setiap kelas di SMA diisi sebanyak 36 orang, artinya sudah 395 wajah baru yang saya pernah hadapi.Â
Bayangkan, jika Anda menjadi wali kelas selama 30 tahun atau lebih. Berapa wajah-wajah baru yang akan kalian temui dan yakin suatu saat nanti akan bertemu lagi.Â
Pastikan mereka mengingat wajah Anda sehingga ketika Anda pensiun nanti mereka masih mengenal wajah-wajah Anda sebagai "mantan" wali kelasnya
Selain wajah-wajah baru, wali kelas juga akan bertemu dengan jumlah karakter sesuai dengan jumlah anak perwaliannya. Bukan hal mudah memahami dan menerima karakter mereka.Â
Bayangkan, anak saja di rumah yang mungkin jumlahnya hanya 2,3,4, atau mungkin paling banyak 10 orang. Jika mereka melakukan sesuatu yang tidak semestinya, bagaimana respons kita sebagai orang tua.Â
Nah, jika menjadi wali kelas, harus memahami 36 karakter beragam dalam satu tahun. Apa jadinya jika kita memaksakan karakter itu sesuai dengan kehendak sebagai wali kelas.Â
Bagaimana upaya yang harus dilakukan agar karakter yang beragam itu bisa berjalan beriringan dalam satu kelas selama satu tahun. Setiap wali kelas pasti punya pengalaman yang berbeda-beda.
Menjadi motivator ulang
Bukankah seorang wali kelas setiap hari berceramah di depan kelas? Apalagi jika ada kejadian yang menghebohkan di kelas. Misalnya, yang alpanya terlalu banyak. Ada yang sering bolos. Banyak yang melanggar tata tertib sekolah. Ada kedapatan merokok di WC sekolah. Ada yang sering terlambat. Beserta ratusan deretan kejadian yang seharusnya tidak kita harapkan sebagai wali kelas.Â