Akhir-akhir ini bahasa daerah menjadi perhatian berbagai pihak. Ini terjadi karena bahasa daerah yang ada di negara kita terus mengalami kemunduran. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak tersebut agar bahasa daerah bisa terus bertahan. Minimal tidak punah. Akademisi, pegiat bahasa, lembaga resmi negara, serta komunitas pemerhati bahasa daerah terus ambil bagian dalam upaya pemertahanan ini.
Salah satu lembaga yang ambil bagian adalah Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar (JBSI FBS UNM). Komitmen menyerukan pemartabatan bahasa daerah di Sulawesi Selatan dilakukan dalam bentuk seminar dalam jaringan (sedaring) yang dilaksanakan pada hari Rabu, 9 Maret 2022. Kegiatan yang dilaksanakan kurang lebih empat jam tersebut menghadirkan empat pemateri yang ahli dalam bidang bahasa daerah.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Prof. Endang Aminuddin. Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tersebut didaulat sebagai pemateri pertama. Tiga pembicara lainnya yaitu peneliti Bahasa Makassar Dr. Brendon Marshall yang langsung berbicara dari Australia, Prof. Dr. Kembong Daeng, Guru besar bahasa daerah FBS UNM, dan Dr. Syamsudduha, dosen JBSI UNM.
Kali ini, saya hanya fokus menuliskan sedikit rangkuman dari materi yang disampaikan Dr. Brendon. Secara pribadi, saya salut dengan dosen Australia tersebut. Saat menyampaikan materi, tiga bahasa digunakan secara bergantian. Bahasa Inggris, Indonesia, dan bahasa Makassar. Semuanya sangat fasih. Menarik, pasti. Santai, penuh makna. Brendon sekaligus menjadi simbol bagi kita untuk terus melestarikan bahasa daerah masing-masing. Dosen yang pernah bermukim di Kab. Takalar selama beberapa tahun menyampakan materi yang berjudul Bahasa Daerah di Sulawesi Selatan dalam Perspektif Ekologi Bahasa. Â Sebelum dia mengakhiri penyampaian salindianya, dia berpesan agar bahasa daerah, khususnya di Sulawesi Selatan bisa terus dijaga dan dilestarikan. Caranya? Ada empat pilar yang beliau tawarkan.
Brandon alias Dg. Naba merangkum empat tiang pelestarian bahasa daerah  dalam singkatan, K.A.S.P.
K= Keluarga, A= Agama dan Budaya, S=Sosial media, dan P=Pendidikan
Keluarga menjadi rumah pertama mempertahankan bahasa daerah. Orang tua harus menjadi penutur aktif dalam keluarga. Dia harus berkomunikasi dengan anggota keluarga dalam bahasa daerah sehingga bahasa tersebut bisa dilestarikan secara natural. Bahkan, Brandon menyampaikan, rumusan dalam pasal 36 UUD 1945 bahwa bagi bahasa daerah yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik, bahasa daerah tersebut akan mudah dipertahankan. Yang diperlukan dalam mempertahankan bahasa daerah adalah penggunaannya secara masif dalam masyarakat dan keluarga menjadi jalan utamanya. Â Brandon mengakhiri peran keluarga dengan mempertegas bahwa bukan sekolah, pemerintah, atau lembaga yang menjadi hal utama, tetapi keluarga menjadi bagian penting menghindari degradasi dan kepunahan bahasa daerah.
Agama dan Budaya
Biasanya bahasa daerah yang digunakan di rumah adalah bahasa rendah, tetapi ketika dalam ceramah-ceramah atau kegiatan keagamaan dan ritual-ritual budaya bahasa yang digunakan lebih tinggi kastanya. Artinya, bahasanya tidak berulang-ulang, lebih lengkap, dan kosa katanya lebih luas. Brandon mengakui bahwa penguasaan bahasa Makassar daerah yang dimilikinya sangat diperkaya dengan keseringannya menghadiri kegiatan takziah sewaktu tinggal di Galesong.
Sosmed
Brandon mengawali dengan menghadirkan foto orang "botak" lalu dia bertanya siapa si botak pada gambar tersebut? Ha..ha... Salah satu alasan generasi meninggalkan bahasa daerah karena mereka menganggap bahasa daerah kuno, tidak keren. Dengan menulis dan berbicara dalam bahasa daerah di sosial media, secara tidak langsung menjadikan bahasa daerah terus dikenal dan terwariskan kepada generasi selanjutnya. Dia salut dengan Dg. Nojeng (si botak pada gambar yang ditampilkan) pada gambar yang dia tampilkan. Dg. Nojeng, yang juga sebagai ketua panitia dalam kegiatan tersebut memang dikenal sebagai pegiat media sosial yang banyak menggunakan bahasa daerah dalam aktivitas media sosialnya. Bahkan Brandon mengajak masyarakat pengguna bahasa daerah untuk mencontoh Dg. Nojeng (Dr. Asis Nojeng) dalam upaya melestarikan bahasa daerah yang dimilikinya.
Pendidikan
Sekolah dan perguruan tinggi sebagai bagian yang tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan bahasa daerah. Di sekolah, diharapkan bahasa daerah menjadi pengantar awal dalam pembelajaran, bisa pada tingkat kelas-kelas tertentu. Â Selain itu, pengambil kebijakan diharapkan menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib, baik dalam bentuk muatan lokal atau mata pelajaran tersendiri.
Akhirnya, Dr. Brandon mengutip trigatra bahasa sebagai dengungan pelestarian bahasa, Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H