Tulisan ini sebenarnya dokumen lama yang belum selesai. Hari ini, saya kembali membukanya dan berusaha menuntaskan. Tentu dengan kembali mengingat-ingat peristiwa ketika saya mulai menulisnya. Tidak apa. Semoga saja ada manfaat yang bisa dipetik. Mulai saja.
Saya lanjutkan setelah membaca komentar seorang pengamat tentang kondisi pendidik negeri kita . Pengamat dan Praktisi Pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mengatakan bahwa mayoritas guru di Indonesia tidak berkualitas. Baik guru PNS maupun honorer, hanya terfokus pada capaian kurikulum. Tidak memikirkan siswa itu nyaman atau malah stres. "Guru-guru kita itu kualitasnya rendah. Hanya 2,5 persen dari 3 juta guru yang berkualitas. Sisanya 2,9 jutaan tidak bisa mengajar dengan baik," kata Indra kepada JPNN.com, Jumat (1/5).
Tanggapan pengamat tersebut menuai beragam komentar pendidik di tanah air. Ada yang sepakat, ada yang memilih netral, dan lebih banyak yang kebakaran jenggot.
Oke, saya mulai dengan kisah, ya. Tidak apa-apa kan!
Entah mengapa pagi ini harian Kompas begitu cepat kedengaran menyentuh pintu depan. Biasanya juga, aku sudah melangkahkan kaki menuju tempat kerja, koran itu belum juga datang. Hari ini, kedatangannya betul-betul cepat. Mungkin karena pengantarnya yang berganti atau mungkin karena dia ingin menyenangkan saya yang selalu dia antarkan dengan waktu yang tak jelas.
Makanya pagi ini pula, kusempatkan diri untuk membaca beberapa bagian dari harian nasional tersebut sebelum berangkat kerja. Mumpung, karena baru kali ini aku menemukan koran datang pada jam kerja. Hari yang sering aku temukan koran datang ketika saya ada di rumah hanya Sabtu dengan Ahad. Itu pun bukan waktu yang pagi. Semuanya di atas pukul delapan bahkan terkadang waktunya tidak jelas. Yang jelas, hari ini aku bersyukur. Semoga esok-esok pun seperti itu.
Lembar demi lembar aku buka. Aku malas melihat halaman utama yang waktu itu hanya memberitakan info terbaru kampanye yang sudah berakhir. Kita akan berada pada Minggu tenang, katanya. Walau bukti yang ada kita makin terusik dengan kedatangan mereka di sekitar rumah-rumah sambil membagikan kartu nama dan sesumbar senyuman. Tentu kartu nama calon legislatif atau pasangan calon presiden.Â
Makanya tak kubaca halaman pertama koran itu. Kubuka pada lembar berikutnya dan ternyata juga masih berita tentang parpol. Kulangkahi lagi, sampai beberapa halaman dan aku terhenti pada berita humaniora. Kubaca secara serius. Membaca judul  serta melihat ilustrasi gambarnya kupaham bahwa pastinya berita setengah halaman ini berbicara tentang pendidikan. Kutelusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf pertama terlewatkan. Aku melirik jam yang berada di dinding.
Di sana terlihat sudah pukul 07. 05 Wita. Untunglah, hari ini Senin. Saya dihinggapi rasa malas untuk mengikuti upacara bendera. Rutinitas yang menoton sebagai bentuk nasionalisme. Tapi, bukan karena saya tidak ikut upacara hari ini lalu dianggap tidak nasionalis, ya. Kembali ke kisah awal. Kulanjutkan pembacaanku pada paragraf berikutnya. Aku semakin tertarik.
Tulisan itu berbicara tentang sebuah sekolah alam di wilayah Jawa. Luas lahannya kurang lebih 2 hektare. Sebuah wilayah yang pastinya agak luas untuk ukuran sekolah. Dua hektare wilayah tersebut tidak digunduli. Para pengelola sekolah malah membuat sebuah rumah-rumah panggung di tengah lahan sekolah. Dibiarkannya rumah panggung itu tak berdinding. Atapnya pun terbuat dari ilalang yang telah dikeringkan.
 Ternyata pelopor dari pendidikan yang menjadikan alam sebagai media pembelajaran tersebut merupakan seorang musisi. Cita-citanya murni sebuah sistem pendidikan masa depan yang menginginkan seluruh potensi siswa lokal Indonesia tergali sesuai dengan kemampuan dan apa yang kita miliki. "Mengapa kita mesti mencontoh sistem sekolah negara lain, padahal kita mampu untuk menciptakan sistem yang sesuai dengan kondisi kita, dan wah ternyata hasilnya tak kalah dengan mereka." Ungkapnya dalam koran tersebut.
Artinya, di Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mestinya lebih berpikir untuk sebuah masa depan kita. Kita semua sepakat bahwa sekolah adalah elemen paling penting dalam negara ini. Sekolah menjadi media untuk mencerdaskan bangsa dan menghasilkan generasi yang akan melanjutkan pembangunan serta menjadikan masyarakat Indonesia hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan.
Lalu apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Anggaran dunia pendidikan kita sekarang sudah mencapai sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang dalam APBN yaitu sebesar 20 persen. Lalu, apanya yang kurang. Kurang cerdas, atau kurang kompetenkah guru yang mengajar di negeri ini. Ah, sudahlah. Sebuah harapan masih menjadi harapan. Sebuah keinginan jangan hanya keinginan. Sebuah kemauan yang mesti diwujudkan.
Lalu, bagaimana dengan pendidik kita. Pendidik tidak boleh antikritik. Terima saja semua masukan. Entah berterima dalam hati atau tidak. Berusaha lakukan terbaik. Perbaiki kompetensi. Maksimalkan pada diri kita empat kompetensi yang selalu didengungkan dan diseminarkan tersebut.
Semuanya mesti berada pada wilayah kesadaran kita masing-masing. Kita harus bertanya, mengapa pengembangan dunia pendidikan lebih aktif terjadi pada sekolah-sekolah swasta dan juga nonformal. Padahal mereka mengelola dan menggunakan dana yang bukan sepenuhnya berasal dari negara. Pun tidak diurus secara penuh oleh pemerintah.
Kita mesti paham dan berniat untuk menyelesaikan secara bersama. Potensi yang ada pada diri siswa Indonesia sebenarnya sangat besar. Potensi kita tak kalah dengan apa yang dimiliki oleh negara lain. Buktinya, begitu banyak lomba-lomba tingkat internasional yang diikuti oleh peserta didik kita dan tak sedikit yang berbuah manis. Â Begitupun dengan pendidik. Kita telah ditempa di ruang-ruang kuliah oleh profesor-profesor hebat. Kementerian terus melakukan pelatihan-pelatihan sebagai upaya peningkatan kompetensi pendidik kita. Lalu, kurang apa sistem pendidikan kita?
Kita pasti bisa, semua pasti bisa. Bekerjasamalah untuk sebuah perubahan masa depan bangsa.Â
Semua guru, semua murid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H